Kisah Jalan Kaki dari Semarang ke Gua Maria Kerep Ambarawa: Dikira Rombongan Biksu yang Ketinggalan

Pengalaman spiritualitas yang tak terlupakan.

0 761

Katolikana.com—Agenda jalan kaki Semarang-Gua Maria Kerep, Ambarawa, dengan jarak tempuh 35 km, menjadi salah satu pengalaman spiritualitas yang tak mungkin saya lupakan.

Saya, Vincentius Dimas Sanubari, ditemani oleh Dionisius Vio, kerabat lama semasa di SMA PL Don Bosko, Semarang. Sewaktu kuliah kami berbeda almamater, tetapi hingga kini kami masih menjalin pertemanan.

Kami memutuskan untuk berjalan kaki dari Semarang- Gua Maria Kerep, Ambarawa, pada Rabu (6/9/2023).

Kami berangkat pukul 06.00 dan tiba pukul 21.00. Tiba di Gua Maria Kerep, kami menginap semalam.

Sepanjang perjalanan kami sesekali bicara, berkonflik, diam, kadang hanya memberikan kode tangan yang berarti harus istirahat sejenak.

Kami melewati jalur via Gunungpati yang medan jalanannya cukup menanjak. Belum lagi, perubahan cuaca dari panas menjadi dingin membuat kami jadi tidak enak badan.

Tak jarang suara sendawa terdengar selama perjalanan malam hari. Akan tetapi, kami sadar bahwa ini adalah konsekuensi dan perjuangan yang mesti dilakoni dalam mengikuti jejak Kristus.

Benar adanya jika mengikuti jejak Kristus itu tidak selamanya manis. Kadang kala, kita harus dihadapkan hal-hal duniawi yang membuat tergiur dan akhirnya abai pada rahmat-Nya.

Namun, justru melalui perjalanan ini saya mulai tergerak untuk merasakan cinta kasih yang diberikan oleh Tuhan.

Vio Mengenakan Sandal untuk Mengenang Semasa Sekolah di Seminari Mertoyudan, Magelang

Terus Berjalan, Meski Lamban

Ketika itu, pukul 13.30, cuaca di Pasar Babadan, Ungaran sangat panas. Rasanya matahari seperti sejengkal di atas kepala. Akhirnya, kami memutuskan untuk menepi dan berteduh sebentar karena kepala mulai terasa pusing.

Di situ, satu per satu supir angkot mulai menawarkan tumpangan kepada kami. Rasanya niat untuk menuntaskan perjalanan seperti sedang diuji.

Saya mencoba mempertanyakan kondisi Vio, karena saya melihat kakinya sudah membengkak dan sangat kotor layaknya gembel jalanan.

“Masih bisa untuk berjalan panjang, tidak?” tanya saya.

Sekejap kemudian, Vio mencolek dan menjawab, “Aku masih sanggup. Ayo jalan saja, cepat atau lambat pasti bisa sampai di sana.”

Melihat kondisinya seperti itu, saya merasa ada energi baik yang ditularkan oleh Vio. Meski kakinya sakit, tetapi ia bertekad dan percaya untuk lanjut berjalan.

Lewat peristiwa ini, saya belajar, kadang apa yang ingin kita capai tak semestinya dikejar dengan kemrungsung atau tergesa-gesa.

Ada pepatah Jawa: Alon-alon asal kelakon. Pelan-pelan asalkan sampai.

Saya percaya bahwa melamban itu bukanlah sesuatu yang buruk atau menggambarkan orang pemalas. Namun, dengan melamban, harapannya dapat mengantarkan kepada kesadaran dan perhatian mendalam terhadap apa saja yang telah dijalani.

Oleh karena itu, di tengah modernitas yang menuntut serba cepat ini, tampaknya tidak ada salahnya untuk mencoba melamban agar kita bisa memilih dan memilah tujuan dengan penuh kesadaran.

Pintu Masuk Gua Maria Kerep Ambarawa. Foto: Istimewa

Welas Asih

Setelah itu, kami melanjutkan kembali perjalanan. Ketika di jarak 8 km dari tempat sebelumnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang meminta kami untuk beristirahat sebentar. Kalau tidak salah, kami beristirahat di warung yang terletak di seberang PT Liebra Permana, Kecamatan Bawen.

“Mas, berhenti dulu sebentar. Minum dulu di sini. Aku lihat dari jauh, aku kira kalian rombongan biksu yang ketinggalan,” sambutnya dengan sumringah.

Saya langsung tertawa mendengarkan itu. Wajar saja, apabila dikira biksu. Kebetulan kami melewati jalanan yang sama dengan para biksu, yang hendak ke Candi Borobudur beberapa bulan lalu.

Tapi tidak menutup kemungkinan juga, rambut saya yang agak gundul ini mungkin membuat laki-laki itu mengira kalau saya adalah biksu.

Akhirnya, tanpa pertimbangan panjang kami mengiyakan ajakannya. Kami saling cerita banyak hal di situ, yang seakan-akan kawan lama sedang dipertemukan.

Lalu, perlahan hati saya mulai dibuat luluh oleh laki-laki itu. Sebab saya bisa merasakan welas asih dari seorang yang sebelumnya tidak pernah saling kenal.

Pengalaman diberi tanpa meminta ini adalah hak istimewa dan patut untuk kita syukuri.

Lewat pengalaman spiritualitas ini, saya bisa betul-betul bisa mendalami kasih yang diberikan cuma-cuma oleh Tuhan.

Dari menggunakan seluruh indera dan anggota tubuh sebagaimana mestinya, welas asih dari seseorang, hingga udara pagi hari yang sejuk di Kerep.

Tuhan memang tidak pernah menampakkan diri kepada umatnya, namun sejatinya Tuhan telah hadir melalui perantara lain.

Suasana Pagi Hari di Halaman Utama Kerep. Foto: Istimewa

Spirit Suket

Sepulang dari Kerep, saya mendapat tanggapan dari teman-teman. Ada yang menanyakan untuk apa tujuannya, ada juga yang menganggap seperti orang stres.

Saat ditanya, terkadang saya tidak bisa menjawabnya dengan serius. Tetapi, saya punya anggapan, jika kita semua adalah pengembara. Mungkin kita tidak sadar kalau sedang proses menemukan jalan hidupnya masing-masing.

Maka sebetulnya tidak ada di dunia ini yang sudah tuntas dengan segalanya, meski mempunyai harta dan tahta tinggi sekalipun, terkecuali orang mati.

Jadi, yang mesti kita lakukan sekarang hanyalah bagaimana menumbuhkan relasi batin antarsesama dengan baik dan terus bertumbuh, serta berjalan menikmati proses yang ada.

Saya jadi teringat alm. Ki Slamet Gundono, sosok yang terkenal dengan dalang wayang suket atau rumput. Menurutnya, rumput memiliki spirit tersendiri karena rumput akan tetap tumbuh, walaupun tidak butuh banyak air dan sinar matahari. Maka teruslah bertumbuh dan berproses, meski lamban dan orang-orang telah melampaui jauh. (*)

Kontributor: Vincentius Dimas Sanubari, alumni Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata dan Tim Sosmed Paroki St. Theresia Bongsari, Semarang.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.