Monsinyur John Saklil: “Nosso Bispo Querido!”

Kenangan Delegasi Indonesia dan Umat katolik di Brasil bersama Uskup Timika John Philip Saklil pada World Youth Day 2013.

0 946

Katolikana.com – Sore hari, 3 Agustus 2019. Sebuah notifikasi muncul di ponsel milikku. Isi notifikasi itu: seorang kawan penggerak orang muda membagikan fotonya padaku. Ketika membuka foto itu, tampak foto kawan penggerak orang muda ini bersama sebuah kelompok musik orang muda Katolik dampingannya bersama Mgr. John Philip Saklil. Pun, ada quote singkat tetapi sungguh amat dalam dari Uskup Timika tersebut di foto itu: “Anak muda butuh sahabat, bukan pemimpin!!!”

Aku pun terbingung sesaat. Tak dapat menangkap maksud foto itu. Segera kuperiksa dengan seksama keterangan foto itu. Ternyata ada tertulis: “Kami akan selalu merindukanmu Mgr. John Philip Saklil. Rest in Peace, Monsinyur. Doa kami.”

 

Mgr. John Saklil berpose gaul dengan kaum muda katolik. Foto: Katolikana/Angela Ratna Yunita

 

Aku spontan berteriak tak percaya membaca pesan dari kawan penggerak orang muda ini. Segera kuperiksa berbagai kanal media sosial, beberapa website yang relevan dengan harapan berita itu hoax semata. Ternyata harapanku pupus. Semua memberitakan hal yang sama, Mgr. Yohanes Philipus Gaiyabi Saklil, Uskup Timika, Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke, telah meninggal dunia pada 3 Agustus 2019 pkl. 14.10 WIT di ICU Rumah Sakit Mitra Masyarakat, Timika, Papua.

Kesedihan pun segera meliputi diriku. Pun, tak kuasa aku menahan air mata yang telah memenuhi pelupuk mata. Air mata pun mengalir bersama bisikan lirihku, “Selamat jalan, Monsinyur! Mengapa begitu cepat engkau pergi? Semoga berbahagia bersama Bapa. Doakan kami yang masih berziarah di dunia ini…”

Nosso Bispo Querido!

Nama Monsinyur Saklil, begitu biasa aku menyapa beliau, telah kudengar saat membaca artikel majalah HIDUP perihal tahbisan beliau sebagai Uskup Timika. Sebagai salah satu orang yang pernah merasakan kesempatan untuk lahir dan hidup di Papua, khususnya di Jayapura, aku merasakan sukacita tahbisan Uskup Timika tersebut yang sekaligus menandai dimekarkannya sebagian wilayah Keuskupan Jayapura menjadi Keuskupan Timika. Dan, Mgr. John Philip Saklil adalah Uskup pertama di Keuskupan Timika. Dan, boleh jadi beliau adalah putra pertama Papua yang menjadi seorang Uskup.

Kebenaran kabar berpulangnya Mgr. Saklil segera melemparkan ingatanku akan sebutan “Nosso Bispo Querido” yang pernah disematkan pada beliau sekitar enam tahun lalu. Ungkapan “Nosso Bispo Querido” adalah ungkapan cinta dari umat Paroki Diadema, di Sao Paulo, Brasil kepada Mgr. Saklil. “Sampai sekarang umat Diadema masih menyebut Mgr. Saklil dengan sebutan ‘Nosso Bispo Querido’ – dalam bahasa Portugis artinya “Uskup kami yang tercinta”, ujar Padre Fernando Doren, SVD., misionaris Indonesia yang ketika itu menjadi Pastor Paroki Diadema, setelah kami pulang ke Indonesia.

Aura kebapaan, keramahan, keluwesan, dan sifat humoris selalu terpancar sepanjang waktu dari sosok beliau ketika live in beberapa hari di Paroki Diadema, jelang World Youth Day 2013 di Rio de Janeiro, boleh jadi menjadi alasan utamanya mengapa sapaan cinta itu dilekatkan pada beliau.

Uskup John sedang bergembira. Tertawa dan menari saat World Youth Day 2013 di Brasil. Foto: Katolikana/RD. Chrisantus Paschalis Saturnus

 

Selama live in beberapa hari di Diadema, memang beliau tak segan memetik gitar, memulai obrolan, berjalan kaki, bergurau, berjoget, dan bernyanyi sepanjang bersama kami delegasi OMK Indonesia. Bahkan, ketika kami mempersiapkan jamuan makan khas Indonesia bagi umat Diadema, beliau pun tak segan membantu kami mengaduk mie instan, meski beliau sudah rapi dengan kemeja, jas, dan collar beliau.

Masih segar pula dalam ingatan saya akan suatu pagi yang dingin tetapi kemudian hangat karena canda tawa yang terjadi ketika kami menunggu ‘jemputan’ menuju kapel untuk Misa pagi. Memang saat itu saya dan RD. Chrisantus Paschalis Saturnus, imam diosesan Keuskupan Pangkalpinang, ‘bertetanggaan’ dengan beliau saat live in.

Saat bersama-sama menunggu ‘jemputan’ itulah terlontar candaan kecil dari sang tuan rumah yang menjadi ‘ayah angkat’ beliau dan RD. Yohanes Dwi Harsanto – Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI ketika itu. “Wah, rumah saya ini ternyata menjadi ‘Katedral’ untuk beberapa hari ya!” Katanya penuh canda dalam Bahasa Inggris patah-patah kepada Mgr. Saklil dan kami. Mgr. Saklil pun tersenyum mendengar candaan itu.

Kehangatan Mgr. Saklil dirasakan umat di Paroki Diadema. Rasa cinta itu nyata ketika kami, delegasi OMK Indonesia bersama umat Diadema merayakan Misa Sertaneja jelang keberangkatan kami menuju Rio de Janeiro. Misa Sertaneja adalah suatu misa inkulturasi yang kerap dirayakan dua kali dalam setahun, pada Juni atau Juli sebagai syukur atas hasil karya dan panen serta yang dianugerahkan Tuhan kepada umat, juga atas hujan yang dicurahkan yang menghasilkan senyum.

Dalam Misa Sertaneja yang dipimpin Mgr. Saklil, umat Diadema menyerahkan patung Nossa Senhora Aparecida kepada Mgr. Saklil, usai diarak sebagai bentuk penghormatan kepada beliau. Usai Misa, umat Diadema terus mendatanginya, untuk bercengkerama, mengajak foto, atau bahkan mengajak dansa. Ia pun melayani semua umat dengan penuh senyum dan kehangatan.

 

Bersiap menuju Brasil mengikuti World Youth Day 2013. Bergambar bersama RD. Yohanes Dwi Harsanto (baju hitam). Foto: Katolikana/RD. Chrisantus Paschalis Saturnus

Barangkali umat Diadema jarang dikunjungi oleh Uskup mereka. Tuhan pun mengatur agar hadir seorang prelatus nun jauh dari Papua yang menjawab kerinduan umat Diadema. Bahkan tinggal bersama mereka beberapa hari. Tak heran jika kehadiran dan kehangatan Mgr. Saklil amat membekas pada umat Diadema.

Berkaca dari pengalaman ini, aku tak bisa membayangkan bagaimana duka dan kehilangan mendalam umat di Tanah Papua terhadap Mgr. Saklil, yang menggembalakannya sejak 2004.

Editor: Basilius Triharyanto

Penulis dan editor. Saat ini berkarya di Yayasan Bhumiksara. Ia juga aktivis YOUCAT Indonesia

Leave A Reply

Your email address will not be published.