Polemik tentang Childfree, Alamanda: Saya Lebih Terpanggil untuk Merawat Masyarakat

Romo Dr. C. B. Kusmaryanto, SCJ: Gereja menganjurkan setiap keluarga memiliki keturunan karena anak adalah mahkota perkawinan.

0 1,962

Katolikana.com—Beberapa waktu lalu media sosial dihebohkan dengan polemik mengenai keputusan Gita Savitri, seorang influencer yang mengeluarkan pernyataan untuk menjalani childfree. Pilihan untuk tidak memiliki anak itu juga disetujui oleh suaminya.

Apa sebenarnya konsep childfree itu? Bagaimana dampak psikologis bagi perempuan yang memutuskan tidak memiliki anak?

LiveTalkshow yang ditayangkan melalui channel Youtube Katolikana dan Radio Katolikana, pada Jumat (27/8/2021) menghadirkan narasumber Dosen Bioetika Pascasarjana di Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Kedokteran UGM, Dr. C. B. Kusmaryanto, SCJ, pasangan suami istri, Vino dan Bintari, dan Alamanda, seorang warga negara Indonesia yang berdomisili di Spanyol.

Romo Dr. C. B. Kusmaryanto, SCJ

Dr. C. B. Kusmaryanto, SCJ atau yang akrab disapa Romo Kus, menjelaskan, childfree atau childless merupakan pilihan dari pasangan suami istri, berdasarkan beberapa alasan tertentu.

Alasan yang dimaksud adalah di luar alasan medis, psikologis, maupun biologis. Misalnya alasan ekonomi, atau merasa lebih bebas tanpa anak dalam pernikahan.

“Di Indonesia, konsep ini belum bisa menjadi sesuatu yang bisa diterima secara budaya,” jelas Romo Kus.

Pengaruh lingkungan agraris di zaman dahulu, yang menerapkan konsep ‘banyak anak banyak rezeki’, masih terus mengakar.

Bahkan, beberapa suku masih mengharuskan adanya keturunan untuk meneruskan marganya. Sehingga secara budaya, memiliki anak masih menjadi kewajiban sosial.

Romo Kus menegaskan, dalam Kitab Suci, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dan berfirman agar mereka berkembang biak.

“Firman tersebut dianggap sebagai kewajiban bagi pasangan yang sudah menerima sakramen perkawinan,” ujar Romo Kus.

“Beranak cucu memang perintah Allah. Tetapi sebagai makhluk yang memiliki akal budi dan kehendak, manusia bisa mengatur kapan akan mempunyai anak, dan berapa jarak antaranak,” Romo Kus.

Romo Kus menambahkan, dari sudut pandang gereja Katolik, tujuan menikah adalah kesejahteraan suami istri, kelahiran anak, dan pendidikan anak.

“Poin terpenting dari menikah adalah bertanggung jawab. Semua orang berhak mengatur tubuhnya, berhak memilih untuk memiliki anak atau sebaliknya,” kata Romo Kus.

“Secara spiritual, anak dipandang sebagai anugerah dari Allah yang diterima dengan sukacita,” tambahnya.

Alamanda

Childfree adalah Panggilan

Alamanda, warga negara Indonesia yang berdomisili di Spanyol mengisahkan, jauh sebelum menikah, dirinya sudah memikirkan untuk tidak memiliki anak.

“Saya tahu, saya tidak terpanggil untuk memiliki anak,” ujar Alamanda yang memiliki kesibukan mengurus lansia (caregiver) di Spanyol.

Dia menuturkan, keputusan ini dibentuk bertahun-tahun lamanya dan membutuhkan evaluasi yang mendalam.

Karena keputusan untuk tidak memiliki anak selalu disampaikan sebelum memulai  hubungan, Alamanda selalu gagal dalam urusan percintaan.

Akhirnya dia menikah dengan seorang warga negara asing dan tinggal di luar budaya yang mengharuskan memiliki anak.

“Saya lebih terpanggil untuk merawat masyarakat,” ujarnya.

Menunda memiliki anak

Secara etis dan moral, childfree dan menunda memiliki anak adalah dua konsep yang berbeda.  Mengatur waktu, dan menentukan jarak kelahiran anak adalah hak setiap pasangan, sesuai dengan alasan yang mereka miliki.

Hal ini diterapkan oleh pasangan Vino dan Bintari yang sudah tiga tahun menikah tetapi masih memilih untuk fokus pada pendidikan dan karir.

“Memiliki anak bukan hal yang mudah dan murah. Anak harus mendapatkan hari-hari yang penuh perhatian,” ungkap Vino.

Bintari dan Vino

“Tujuan memiliki anak bukan sebagai deposito di hari tua,” papar Bintari, tentang pertanyaan yang kerap diajukan mengenai siapakah yang akan mengurus mereka kelak, jika tidak memiliki anak.

Keduanya menjelaskan, keputusan ini sudah dibuat sejak sebelum menikah, dan mereka konsisten menjalankannya.

Pendidikan dan Angka Kelahiran

Romo Kus mengatakan ada kaitan antara pendidikan dengan jumlah kelahiran. Makin sejahtera suatu keluarga, makin berkurang anak yang dilahirkan.

“Dengan pendidikan, seseorang akan memahami bagaimana sebaiknya keluarga yang dibangunnya,” jelas Romo Kus, mengutip teori Robert Malthus.

Mitos dan stigma seringkali beranggapan bahwa seorang perempuan akan menjadi sempurna apabila bisa mengandung dan melahirkan. Padahal sejatinya perempuan tetaplah seorang perempuan meski tidak melewati proses tersebut.

“Manusia tidak bisa diturunkan derajatnya, meski pun diperlakukan kurang manusiawi oleh manusia lain,” kata Romo Kus.

Terkait tantangan psikologis akibat pilihan childfree, Alamanda menyarankan sebaiknya tinggal di tempat-tempat yang menganggap konsep childfree.bukan masalah.

Pasangan Vino dan Bintari mengakui, lebih memilih tak mempedulikan komentar orang lain. Sedangkan, Romo Kus menganjurkan agar terbuka kepada masyarakat, mengenai alasan menunda kelahiran anak.

Risiko tidak Memiliki Anak

Perempuan yang tidak mengandung dan melahirkan memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker payudara maupun kanker serviks.

Menanggapi kenyataan tersebut, Bintari yang juga seorang dokter mengutarakan, langkah yang ditempuh adalah dengan menjaga kesehatan. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Alamanda.

Menurut Romo Kus, makin modern hidup manusia, makin berkurang angka kelahiran. Itulah mengapa gereja menganjurkan agar setiap keluarga memiliki keturunan. Karena anak adalah mahkota perkawinan.

“Masing-masing orang bertanggung jawab dengan pilihan masing-masing. Manusia memiliki aspek yang lebih dari sekadar manusia. Jadi, pertimbangan kemanusiaan itu penting,” pungkas Romo Kus.

Perempuan yang gemar membekukan kenangan dalam bentuk tulisan dan gambar. Hobi  membaca, dan juga pencinta kucing. Mahasiswa asal NTT, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Leave A Reply

Your email address will not be published.