Nia Sjariffudin: Saya Percaya Energi Bangsa Ada di Anak-anak Muda

Anak muda memiliki tugas memberikan narasi alternatif

0 91

Katolikana.com—Media sosial kian digandrungi oleh anak muda. Media sosial menyajikan konten positif menarik dan bermanfaat.

Meski demikian, pengguna media sosial sering menemukan konten negatif berupa ujaran kebencian, aksi terorisme, dan konten bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) yang bisa memengaruhi pola pikir dan sikap anak muda.

Kondisi ini mengkhawatirkan, mengingat anak muda telah menjadikan internet sebagai sumber rujukan utama dalam mencari dan menggali informasi.

Live Talkshow #KatolikanaMuda edisi Minggu (29/8/2021) membahas tema Orang Muda: Duta Damai Media Sosial.

Hadir sebagai narasumber, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Nia Sjaruffudin, Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Najih Aromadloni; dan Koordinator Duta Damai Jawa Timur Abdik Maulana.

Kalah Militan

Menurut Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Nia Sjariffudin, sebenarnya anak muda di satu sisi bisa dikatakan sebagai korban. Sebab, adanya sisi kekosongan atau kehampaan tertentu pada mereka akhirnya mendorong anak muda menjadi tidak fokus dalam membangun dirinya.

“Dalam usia-usia tertentu, mereka seharusnya menjadi tanggung jawab generasi yang lebih senior, juga menjadi tanggung jawab negara untuk mengelola potensi yang ada,” ujar Nia.

Bagi Nia, dunia internet yang makin canggih menuntut peran keluarga sebagai acuan pertama dalam membimbing anak muda.

Namun yang berat, menurut Nia, kadang bimbingan dari rumah, sekolah, kampus, dan ruangan yang lebih luas tidak memadai untuk mendorong anak muda bisa menjadi lebih berhati-hati dalam menggunakan teknologi ini.

“Jujur saja, kadang kita yang bergerak dalam isu-isu perdamaian dan kebangsaan, mungkin kalah militan dengan kelompok-kelompok garis keras. Kita sedikit tertatih mengikuti strategi media sosial untuk mendorong anak muda berfikir positif,” tegasnya.

Apa yang terjadi pada anak muda menjadi keprihatinan Nia. Banyak langkah dilakukan oleh pemerintah atau CSO seperti ANBTI atau Gusdurian.

Mereka mendorong situasi yang lebih mengimbangi atau bahkan mendominasi ruang-ruang publik terutama media sosial dengan informasi yang mampu mendorong anak muda lebih fokus pada hal-hal yang bermanfaat untuk membangun perdamaian dunia.

“Saya selalu positif memandang anak muda. Kadang saya kurang sreg. Banyak orang lain bilang bahwa anak muda harus begini, begitu. Kenapa kita meminta terlalu banyak kepada mereka? Lalu apa yang sudah kita berikan kepada mereka?” jelas Nia.

Baginya, anak muda punya pengalaman yang mungkin masih sedikit atau minim. Maka, anak muda harus diajak dan difasilitasi. Bagaimana mereka harus berbuat untuk kepentingan bangsa dan perdamaian dunia.

Menurutnya, literasi menjadi hal penting, namun literasi harus pilih-pilih. Nia mengingatkan bahwa anak muda boleh membaca apa pun. Namun yang perlu diingat, kita harus melihat bagaimana kredibilitas penulisnya dan bertanya kepada ahlinya.

“Orang muda jangan pernah merasa pesimis. Saya percaya energi bangsa ada di anak-anak muda. Jadi peran anak muda dibutuhkan,” jelasnya.

Anak Muda: Obyek Radikalisme

Koordinator Duta Damai Jawa Timur Abdik Maulana menjelaskan, Duta Damai yang dibentuk oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme merupakan sekelompok anak muda yang memiliki peran aktif dalam menyuarakan perdamaian di media sosial.

“Kami bersifat relawan yang membantu dalan mencegah radikalisme, esktremisme, dan ujaran kebencian yang ada di media sosial,” jelasnya.

Terkait gagasan awal, media sosial merupakan media yang sering dipakai oleh oknum-oknum dalam penyebaran paham fundamentalis, radikalisme, maupun yang mengarah ke terorisme.

BNPT melalui pusat media damai membentuk Duta Damai khususnya di Indonesia ada 13 provinsi yang mempunyai tugas dan tujuan sebagai antitesis terhadap objek yang dijadikan sasaran.

“Sekarang obyek terkait radikalisme maupun terorisme tidak hanya  menyasar ke orang-orang yang sudah senior maupun orang-orang yang sudah mapan, tapi anak-anak muda yang masih mencari jati diri,” jelasnya.

Abdik mengungkapkan, BNPT memiliki komitmen bahwa anak muda bisa diajak serta dalam hal pencegahan radikalisme dan terorisme, sebab yang tahu kondisi anak muda, ya anak muda.

BNPT menggandeng anak muda yang memiliki latar belakang berbeda untuk menyerukan perdamaian di media sosial, sebagai upaya pencegahan.

“Anak muda memiliki tugas memberikan narasi alternatif, seperti agama yang toleran, warga negara yang baik, patuh pada negara, dan sebagainya,” ujarnya.

Dengan menggandeng anak muda diharapkan mampu meningkatkan peluang perdamaian. Sebab, anak-anak muda sudah mahir dalam penggunaan media sosial, yang nantinya bisa digunakan untuk hal positif.

BNPT dan Duta Damai fokus pada penggunaan media sosial, sebab terkait dengan rekrutmen oleh pihak-pihak radikalisme atau terorisme ini sudah memakai media soaial dalam aksinya.

“Kita diajak BNPT untuk menyebarkan konten-konten perdamaian, khususnya memberikan narasi alternatif atau pun acuan yang lebih inklusif terhadap setiap perbedaan, dengan hal-hal dasar. Seperti, bagaimana beragama dengan baik, cara mencintai negerinya, dan lain-lain,” ujarnya.

Abdik menjabarkan bagaimana proses rekrutmen terorisme terjadi selama ini.

Menurut data dari BNPT khususnya dalam pencegahan radikal dan terorisme, ada tahapan dalam terorisme, yaitu:

  1. Intoleransi. Sebelum mengarah ke intoleransi biasanya mereka mengajak mendalami agama sesuai versi pihak mereka. Mereka melencengkan ajaran agama dengan membungkus hal yang tidak logika maupun kejahatan menjadi hal yang baik.
  2. Berpikir Ekstrem. Mereka mengajak untuk lebih dominan di agamanya dan tidak melihat golongan lain sebagai kolega atau teman.
  3. Radikalisme mengarah ke ideologi. Ajaran agama dibenturkan ajaran agama yang cenderung fundamentalis, seakan mereka dibuat kebingungan dengan kondisi saat ini.

Konter Narasi

Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme MUI Muhammad Najih Aromadloni mengungkapkan, anak muda selain harus optimis juga tetap waspada karena anak muda akhir-akhir ini menjadi target rekrutmen radikal terorisme.

Data menunjukkan pelaku teror hari ini justru didominasi pelaku usia 18-25 tahun.

“Dari segi target rekrutmen terorisme ada pergeseran. Dulu terorisme menarget orang yang sudah matang secara usia dan punya pemahaman. Hari-hari ini mereka merekut anak muda dan perempuan,” jelasnya.

Menurutnya, hoaks dan radikalisme merupakan satu paket, di mana radikalisme mampu tumbuh subur karena adanya hoaks. Hoaks bisa diterima karena dibumbui informasi yang tidak benar.

Menurut Najih, anak muda rentan karena:

  • Masih labil
  • Punya idealisme
  • Semangat anak muda menggebu dan masih masa krisis identitas untuk mencari jati dirinya.
  • Mudah dimobilisasi.

Narjih menambahkan penyebab lain di antaranya:

Pertama, Pemerintah, salah satunya Kominfo, tidak mau bekerja. “Kami selaku MUI sudah melakukan pelaporan berulang terhadap website, akun, atau konten di media sosial yang berbau radikal tapi tidak pernah ditindak,” ujar Narjih.

Kedua, korban diamnya mayoritas. Mereka sampai tersesat karena kelompok moderat tidak mau bergerak menyebarkan konten positif. Kelompok moderat belum terbangun kesadarannya terkait pentingnya membagikan konten positif.

“Di media sosial kita bisa melakukan hal sederhana, seperti share, like, memberikan komen dukungan, dan mengapresiasi, agar tidak lagi lahir korban-korban baru di anak muda,” tegasnya.

Dalam menjaga keutuhan Indonesia, kita harus melakukan kerja konter narasi dan penangkalan ekstremisme, radikalisme dan terorisme.

Memang penting adanya sinergi dari pemerintah dan CSO, sehingga cepat teratasi. Setiap ada gejolak negatif memang harus kita waspadai, respon positif, dan diatasi bersama.

Penyebaran hoaks banyak digerakkan oleh anak-anak muda, maka harus diantisipasi. Menurut Narjih, kuncinya adalah memperkuat literasi.

“Hoaks utamanya karena malas membaca, dan malas membandingkan info satu dengan yang lain. Dengan menggunakan rasio ketika mendapatkan informasi, mereka sebagai anak akan lebih kebal dengan hoaks. Itu menjadi tanggung jawab bersama apa pun latar belakang kita,” pungkasnya.**

Pribadi yang terus belajar dan berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Mahasiswa asal Pandaan, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.