Kisah Pernikahan Usia Dini: Awalnya Takut, Tapi Harus Mengikuti Kemauan Orang Tua

“Kata bapak kalau cewek tamat SD sudah cukup. Yang penting bisa baca tulis,” ujar IP.

0 1,456

Katolikana.com—Menikah di usia muda harus dilakukan oleh IP (16 tahun), warga Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Bali. IP menikah dengan DO (35 tahun) karena keinginan orang tua dan desakan ekonomi.

Keduanya menikah secara agama dengan ritual pernikahan masyarakat setempat pada bulan November 2021.

“Awalnya takut, cuma waktu itu mengikuti kemauan orang tua, sehingga tidak ada pilihan lagi,” ujar IP kepada Katolikana, Jumat (3/2/2022).

Karena keterbatasan biaya dan kendala ekonomi keluarganya, ia memutuskan berhenti sekolah saat kelas 2 SMA.

IP merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adik perempuannya kini masih duduk di bangku sekolah dasar.

Karena desakan ekonomi, orang tua IP memutuskan untuk mengalokasikan dana demi mencukupi kebutuhan pendidikan adik-adiknya.

“Kata bapak kalau cewek tamat SD sudah cukup. Yang penting bisa baca tulis,” ujar IP saat ditanya mengenai alasan berhenti melanjutkan sekolah.

Sekitar 400-500 anak perempuan usia 10-17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Foto: Indonesia at Melbourne

Meringankan Beban Orang Tua

Menurut IP, jika menikah dengan laki-laki yang sudah mandiri secara ekonomi itu dapat meringankan beban orang tuanya.

Ketika sudah menikah, IP dapat bergantung pada pendapatan suami serhingga secara tidak langsung meringankan beban keluarga.

DO adalah duda tanpa anak. Istri pertamanya meninggal tiga tahun lalu. Sejak saat itu DO tidak mencari istri. Ia pun dijodohkan dengan IP agar DO memperoleh keturunan.

IP mengaku tidak begitu akrab dengan DO meski mereka tinggal satu desa. Namun karena ingin meringankan beban orang tua, IP rela menikahi laki-laki yang ia tidak kenal dekat.

“Sering sih ketemu, cuma tidak dekat dengan DO. Saya tahu rumahnya karena desa ini kecil. Tidak apa-apa bapak menyuruh menikah dengan dia, yang penting bapak tidak susah lagi,” jelas IP.

IP menceritakan bahwa menikah di usia dini bukan hal yang baru terjadi di lingkungannya.

Dampak Nikah Usia Dini

IP bercerita dirinya kadang masih suka bermain dengan remaja sebayanya di desa. Misalnya, berbelanja ke warung dan nongkrong bersama teman-teman perempuan sebaya.

IP kadang lupa bahwa ia juga harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, seperti menyiapkan pekerjaan rumah, memasak, mencuci dan mendampingi suami.

“Kadang suka lupa harus masak, belum lagi mengurus rumah. Suka kangen nongkrong sama temen-temen di warung,” jelas IP.

Hingga kini IP belum dikaruniai anak, padahal DO sudah membicarakan masa kehamilan dengan IP.

IP bercerita bahwa sebenarnya ia belum siap jika harus mulai mengandung. Baginya, mengurus suami dan rumah saja ia sering kelelahan. Apalagi nanti ketika harus mengurus anak dan suami.

“DO sering membahas tentang punya anak. Tapi aku suruh dia sabar karena udah merencakan sejak nikah, hanya belum hamil hingga sekarang,” lanjutnya.

IP sering kali merasa tertekan karena takut tidak bisa memberikan apa yang diinginkan DO.

“Saya sering kepikiran kenapa belum hamil. Kadang tiap malam itu suka tertekan, suka mikir apa aku tidak bisa ngasih apa yang suami mau,” ujarnya.

Kini IP mulai terbiasa dengan statusnya sebagai istri yang harus memenuhi kewajibanya. DO pun telah memenuhi kewajibannya sebagai suami, yakni menafkahi kebutuhan rumah tangganya.

“Setidaknya DO masih menghidupi, masih keluarin duit buat kebutuhan rumah tangga. Ini sesuai dengan apa yang orang tuaku mau waktu menyuruh kami menikah,” tegas IP.

Sebaran Wilayah Pernikahan Dini. Infografis: Ketut Agus Arta Diva Anggara

Kuatnya Budaya Patriarki

Kepala Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia Trias Setiawan mengatakan emansipasi perempuan di sebagian besar wilayah Indonesia masih lemah karena kuatnya budaya patriarki.

“Pada masyarakat patriarki, laki-laki terlatih kedudukanya selalu tinggi, posisinya dihormati, selalu diutamakan, dianggap memiliki banyak kelebihan, dan memiliki kekuasaan yang tidak dapat dikalahkan,” ujar Trias Setiawan pada webinar Peran dan Tantangan Perempuan dalam Politik, Senin (4/3/2022).

Kepala Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia Dr. Dra. Trias Setiawan, M.Si: Budaya patriarki inilah yang juga menjadi salah satu faktor pernikahan dini. Foto: Istimewa

Budaya patriarki menjadi salah satu faktor pernikahan dini. Sosiolog di Universitas Indonesia Ida Ruwaida menyoroti kuatnya budaya patriarki yang membuat posisi perempuan sangat lemah. Menurut Ida, perempuan dianggap harus dimiliki dan tidak dapat mengembangkan dirinya sendiri. Perempuan dianggap lemah sehingga memerlukan laki-laki untuk mendampingi hidupnya agar menjadi lebih baik.

Pernikahan anak usia dini marak terjadi di Indonesia. Koalisi Perempuan Indonesia dalam studi Girls Not Brides (2019) menemukan data 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun.

Padahal, menurut UU Nomor 16 Tahun 2019  tentang Perkawinan, usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki.

Bahkan, PPN/Bappenas mencatat sekitar 400-500 anak perempuan usia 10-17 tahun berisiko menikah dini akibat pandemi Covid-19. Bahkan sepanjang tahun 2020, terdapat lebih dari 64 ribu pengajuan dispensasi pernikahan anak bawah umur. **

Kontributor: Ketut Agus Arta Diva Anggara (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.