Ustadz Sholehuddin: Tiga Syarat Moderasi Beragama yaitu Berilmu, Berbudi, dan Berhati-hati

Hari ulang tahun ke-90 Gereja Katolik Santo Yosef Mojokerto: Menumbuhkan Semangat Moderasi Beragama dalam Keluarga Katolik.

0 419

Katolikana.com—Moderasi beragama seyogyanya dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan.

Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama.

Hal ini disampaikan oleh Instruktur Nasional Penguatan Moderasi Beragama Pokja PMB Kemenag RI Dr. H. Sholehuddin,S.Ag, M.Pd.I pada seminar keluarga dengan tema “Menumbuhkan Semangat Moderasi Beragama dalam Keluarga Katolik”.

Baca juga: RD. Yohanes Agus Sulistyo : Keluarga Katolik Jangan Sampai Mengalami Obesitas Rohani

Seminar ini diselenggarakan dalam rangka hari ulang tahun ke-90 Gereja Katolik Santo Yosef Mojokerto, menghadirkan nara sumber Dr. H. Sholehuddin,S.Ag, M.Pd.I dari Badan Diklat Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan RD. Yohanes Agus Sulistyo Ketua Komisi Hubungan antar Agama dan Keyakinan (HAK) dan  Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Surabaya, Minggu (30/4/2023) di balai paroki.

Seminar diikuti sekitar 100 umat yang terdiri dari perwakilan keluarga Katolik, utusan pengurus lingkungan, kelompok kategorial dan lembaga pendidikan Katolik.

Dr. H. Sholehuddin,S.Ag, M.Pd.I dari Badan Diklat Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Foto: Seksi Dokumentasi Panitia HUT

Udar Asumsi Bangun Persepsi

Dr. H. Sholehuddin,S.Ag, M.Pd.I menegaskan ada tiga syarat utama agar terpenuhinya sikap moderat dalam beragama, yakni: memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas, dan selalu berhati-hati.

Jika disederhanakan, rumusan tiga syarat moderasi beragama ini yakni harus: berilmu, berbudi, dan berhati-hati.

Ketua PC Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU) Sidoarjo periode 2022-2026 ini menambahkan, dalam konteks moderasi, umat beragama direkomondasikan untuk tidak mengurung diri, bersifat inklusif (terbuka), melebur, beradaptasi, bergaul dengan berbagai komunitas, serta selalu belajar di samping memberi pelajaran.

Menurut Sholehuddin yang sering disapa Ustadz Sholeh, bersikap moderat merupakan proses yang dinamis, selalu bergerak. Moderasi pada dasarnya merupakan aktivitas pergumulan terus-menerus yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu banyak standar, batasan, dan indikator untuk menentukan apakah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu tergolong  moderat atau sebaliknya, ekstrem.

Secara singkat, wisudawan terbaik program Doktor UINSA 2017 itu mengingatkan ada empat indikator moderasi beragama:

  1. Komitmen kebangsaan: penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UU 1945 dan regulasi di bawahnya.
  2. Toleransi: menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Menghargai kesetaraan dan sedia bekerja sama
  3. Anti-kekerasan: Menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan baik fisik maupun verbal dalam mengusung perubahan yang diinginkan
  4. Akomodatif terhadap kebudayaan lokal: ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaan sejauh tidak bertentang dengan pokok ajaran agama.

“Keempat indikator ini juga bisa digunakan untuk mengenali seberapa kuat moderasi beragama yang dipraktekkan oleh seseorang di Indonesia, dan seberapa besar kerentanan yang dimiliki,” ujar Sholehuddin.

Ustadz Sholehudin saat menyampaikan materi. Foto: Seksi Dokumentasi Panitia HUT

Tantangan Moderasi

Menurut Ustad Sholeh, ada dua tantangan moderasi beragama dalam konteks kekinian.

Pertama, terjadinya keruwetan kehidupan keagamaan jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dunia tengah memasuki era disrupsi, sehingga dalam kehidupan keagamaan pun terjadi disrupsi beragama, di mana internet bisa mengubah pola perilaku beragama bahkan berpengaruh besar terhadap meningkatnya intoleransi pada generasi milenial atau generasi Z.

Generasi milenial lebih mengandalkan dunia maya sebagai sumber belajar agama. Sebanyak 54,37% siswa dan mahasiswa belajar pengetahuan tentang agama dari internet, baik itu media sosial, blog, maupun website.

“Kalau dulu belajar agama pada kiai di pesantren, saat ini ada ‘kiai Google’. Umat digital menjadi terbiasa menemukan kebenaran tunggal, tanpa penjelasan dan pengayaan,” ujar Ustadz Sholeh.

Kedua, revolusi digital memengaruhi pola membaca masyarakat. Masyarakat cenderung menyukai judul berita yang bersifat provokatif dan heboh. Kebanyakan masyarakat langsung mempercayai isi konten yang terdapat pada berita tanpa melakukan verifikasi. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya berita hoaks (hoax) beredar di mana-mana.

Menurut Ustadz Sholeh, ketika menghadapi umat digital, perspektif moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan framing, apalagi masyarakat Indonesia sangat plural dan multikultural.

Pada posisi ini, moderasi beragama tak lagi sekadar wajib tapi sudah menjadi kebutuhan untuk diimplementasikan demi kehidupan beragama yang lebih baik.

“Oleh karena itu pihak-pihak yang memiliki otoritas pengetahuan agama yang mumpuni baik dari kalangan agamawan maupun akademisi seharusnya hadir mengisi dahaga keberagamaan publik lewat ruang-ruang media social,” tutur pemilik akun tiktok @sholehudin5392 ini.

Dari kiri ke kanan: Ketua Panita HUT, Romo Agus, Ustad Sholeh, dan John Lobo. Foto: Seksi Dokumentasi Panitia HUT

Tahun Keluarga

Kepala Paroki RD. Edwar Suryandoko mengatakan tema seminar ini relevan dengan fokus Keuskupan Surabaya yang mencanangkan tahun 2023 sebagai tahun keluarga dengan refleksi keluarga sebagai Gereja Kecil (Ecclesia Domestica) di tengah masyarakat.

Menurut Romo Surya, seminar memiliki tiga tujuan. Pertama, merupakan proses transformasi wawasan untuk menambah dan meningkatkan kapasitas pengetahuan sehingga mampu menghadirkan sikap dan gaya hidup moderat di tengah kemajemukan masyarakat.

Kedua, menjelang 2024 sebagai tahun politik umat Katolik membutuhkan informasi yang seimbang sehingga mampu menata emosi agama yang baik dan bersikap tenang agar tidak mudah terprovokasi.

“Kita belum bisa memprediksi tentang kondisi yang bakal terjadi pada tahun politik. Namun, apa pun situasinya umat Katolik perlu membekali diri agar relasi dengan tetangga dan masyarakat sekitar tetap harmonis,” ujar Romo Surya.

Ketiga, melalui pembaptisan umat Katolik mengambil bagian dalam karya pewartaan bersama Kristus di tengah-tengah masyarakat.

Romo Surya berharap peserta bisa menjadi pelaku utama dan pemberi cara beragama yang wajar dengan mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara.

“Singkatnya seminar moderasi beragama mampu menambah kualitas asinnya garam dan terang bagi umat Katolik,” tandas Romo Surya. (*)

Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), Anggota Pustaka Bergerak Indonesia, Pendiri Sa’o Pustaka dan beberapa Taman Baca serta pegiat literasi nasional. Lewat GKdB penulis menggerakan masyarakat baik secara pribadi maupun komunitas dalam mendonasikan buku untuk anak-anak di seluruh Indonesia. Guru Motivator Literasi (GML) tahun 2021.

Leave A Reply

Your email address will not be published.