Ketoprak Jalan Salib, Satukan Pesan Injil Melalui Budaya Jawa

Pertunjukan Ketoprak Jalan Salib yang dibawakan oleh Teater Jaran Iman ini mengambil judul 'Sang Panebus'.

0 216

Katolikana.comAda pemandangan berbeda di Aula Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Sleman, pada Jumat sore, akhir Maret 2023 lalu.

Para frater yang biasanya memakai jubah putih, kali ini tampil dalam balutan busana nuansa Jawa.

Para frater ini bukan sedang menjadi peragawan, namun mereka sedang berperan dalam pertunjukan Ketoprak Jalan Salib.

Mungkin Anda akan mengernyitkan dahi mendengar istilah tersebut. Bagaimana jadinya jalan salib yang mengisahkan misteri sakral sengsara Yesus dibalut dalam suatu seni ketoprak.

Jalan salib memang merupakan agenda rutin yang dilakukan oleh para frater Seminari Tinggi saat memasuki masa prapaskah.

Momen inilah yang coba dipakai oleh para frater dengan menghadirkan bentuk baru renungan jalan salib yang dibalut dengan unsur budaya.

Menurut Fr. Vergilius Seto Adi Purbo, salah satu pemeran dalam ketoprak jalan salib, sebenarnya awalnya tidak ada rencana membuat ketoprak jalan salib. Awal mulanya muncul dari ide Romo Pembimbing kami, Romo Vincentius Bondhan Prima Kumbara, Pr, saat rapat awal kepengurusan seminari.

“Beliau memiliki inisiatif untuk membuat tampilan ketoprak agar memberi warna baru bagi umat. Selanjutnya saya dan teman-teman menerima tawaran tersebut hingga akhirnya jadilah ketoprak jalan salib,” jelas Fr. Vergilius Seto Adi Purbo.

Salah Satu Adegan dalam Ketoprak Jalan Salib. Foto: Romualdus

Persiapan Singkat

Ketoprak jalan salib ini merupakan kegiatan kolaborasi antara Romo Bondhan bersama kelompok minat Teater Jaran Iman Seminari Kentungan. Kelompok ini beranggotakan para frater yang sedang menempuh studi di Seminari Tinggi.

Ketoprak ini disiapkan kurang lebih dalam waktu satu bulan.

“Karena ide ketoprak jalan salib baru tercetus akhir Februari 2023, praktis kurang lebih waktu persiapan bagi kami hanya sebulan. Mulai dari proses casting pemain, pembuatan naskah, hingga proses latihan,” ujar Fr. Seto.

Pertunjukan ketoprak jalan salib yang dibawakan oleh Teater Jaran Iman ini mengambil judul lakon “Sang Panebus”.

Lakon ini menceritakan kisah sengsara Tuhan Yesus, mulai dari pergulatan di Taman Getsemani hingga berakhir di Bukit Golgota.

Meski ketoprak jalan salib ini baru pertama kali dipentaskan oleh Kelompok Teater Jaran Iman, namun mereka berhasil menggarap pertunjukan ini dengan serius.

Hal itu tampak dari penggunaan properti, busana, hingga gending Jawa yang mengiringi jalannya pertunjukan.

Proses persiapan sedikit banyak terkendala masalah waktu. Para pemain yang merupakan frater dari berbagai tingkat punya jadwal masing-masing sehingga sulit menentukan waktu yang cocok untuk latihan. Belum lagi di masa persiapan juga terbentur dengan agenda UTS.

“Tetapi luar biasanya, komitmen teman-teman untuk berlatih itu tinggi. Terlebih, saat tahu bahwa akan disaksikan oleh umat. Hal itu makin membuat kami terpacu mempersiapkan yang terbaik,” tambah frater Keuskupan Agung Semarang ini.

Antusiasme Umat

Kehadiran ketoprak jalan salib ini juga ditanggapi secara baik oleh umat. Terbukti dengan kehadiran kaum muda hingga lanjut usia dari paroki-paroki sekitar yang turut merenungkan bersama lakon ketoprak tersebut.

“Antusiasme umat cukup tinggi, setengah aula seminari dapat terisi penuh oleh umat. Semoga ini selalu menjadi semangat bagi kami untuk menyajikan pertunjukan serupa, bahkan mungkin di tempat yang lebih besar lagi,” harap Fr. Seto.

Pemain Gamelan dalam Ketoprak Teater Jaran Iman. Foto: Istimewa

Dukungan juga diberikan oleh pihak staf seminari yang turut hadir secara penuh di sepanjang pertunjukan.

Fr. Seto mengakui sempat ada kendala saat menentukan waktu terbaik bagi pementasan ketoprak ini karena bertabrakan dengan agenda seminari yang lain.

Akhirnya, pihak seminari dapat menyediakan waktu agar pementasan berjalan sebelum para frater disibukkan dengan tugas pastoral paskah.

Jalan salib dalam bentuk ketoprak ini mampu menjadi sarana baru bagi umat dalam memaknai pesan Injil.

Kedekatan umat akan budaya Jawa setidaknya mampu memudahkan umat dalam meresapi tiap renungan yang diberikan.

“Ini tentu hal yang baik ketika budaya dapat menyatu dengan praktik agama. Namun jangan sampai salah menafsirkan inkulturasi budaya hanya sebatas sebagai tempelan simbolik belaka,” ujar Fr. Romualdus Setyo Hadi, frater tingkat IV dari Keuskupan Purwokerto.

“Inkulturasi yang baik adalah ketika budaya dapat masuk, menyentuh dan mengembangkan iman umat. Ketika ketoprak ini mungkin bagi umat dapat menyentuh ke kedalaman iman, itulah yang sejatinya ingin dicapai,” tambah Fr. Romualdus Setyo Hadi.

Pemain Ketoprak Teater Jaran Iman. Foto: Istimewa

Ia sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh teman Teater Jaran Iman di bawah bimbingan Romo Bondhan dalam mempersiapkan ketoprak ini.

Pembuatan naskah yang dimulai dengan penelitian untuk menggambarkan setiap peran dalam ketoprak adalah praktik yang baik dari inkulturasi yang mengembangkan iman.

“Gereja perlu melakukan inovasi pewartaan semacam ini. Yesus punya pesan amanat agung untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Pesan ini bukan kepada para romo saja. Umat juga harus terlibat aktif,” ungkap Fr. Romualdus.

“Intinya jangan sampai salah sasaran. Yang terpenting menemukan permenungan iman yang baru serta makin mendalam, tak hanya sekedar menempel budaya,” pungkas Fr. Romualdus. (*)

Kontributor: Yosafat Bayu Kuspradiyanto, mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.