Kisah Adeline dan Yemima, Dua Mahasiswa UAJY Peserta Program Magang Bersertifikat

Posisi Social Media & Employer Brand Specialist Juga Ada di Magang MBKM!

0 241

Katolikana.com—Program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) yang dicetuskan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim pada 2020 menawarkan sejumlah program, di antaranya pertukaran mahasiswa merdeka, magang bersertifikat, studi independent, dan kampus mengajar.

Mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Adeline Federova (20) dan Yemima Anugrah (20) kini tengah bergabung di program MBKM magang bersertifikat sejak Februari 2023.

Adeline Federova. Foto: Istimewa

Mahasiswa Kantoran

Adeline Federova dan Yemima Anugrah merasakan hiruk pikuk dunia kantor dari kegiatan magang yang mereka ikuti.  Mereka bisa merasakan bagaimana dunia perkantoran yang sebenarnya.

Adel magang di PT. Metrodata Electronics, Tbk. yang berlokasi di Jakarta. Mima melakukan magang di Alfakarir di Bandung.

Menurut mereka, kehidupan sebagai mahasiswa bisa dirasakan sangat berbeda dibandingkan saat menjadi pekerja kantoran.

“Aku di kampus sering ikut organisasi dan kepanitiaan, tinggal magang yang belum. Jadi, pas ada program MBKM aku tertarik untuk mendaftar,” kata Mima.

Bagi Mima, ini kesempatan emas karena mereka bisa mempercepat masa studi dari empat tahun menjadi tiga setengah tahun saja untuk meraih gelar S1.

“Aku merasa setelah mengikuti magang itu orang-orang lebih individualis. Kalau ke kantor cuma ngobrol sama orang yang sedivisi. Jika di luar divisi pasti tidak bakal diajak ngobrol,” kata Adel.

Adel harus bekerja sendirian karena di perusahaannya tidak memiliki tim employer brand specialist, posisi magang Adel saat ini.

Yemima Anugrah. Foto: Istimewa

Ia merasa tidak bisa brainstorming karena harus berpikir sendiri untuk mencari ide demi meningkatkan branding terhadap karyawan di perusahaannya.

Seharusnya ia tidak berada di posisi tersebut, namun ketika diterima ia ditempatkan di posisi yang berbeda dari yang ia lamar di awal.

Untungnya, posisinya kini masih relate dengan apa yang dipelajari di perkuliahan, yakni mengenai branding.

“Di semester 5, aku pernah mendapatkan mata kuliah perilaku konsumen. Itu lumayan bisa aku terapkan di pekerjaanku sekarang sebagai employer brand specialist,” kata Adel.

Mima memiliki tim yang bisa diajak brainstorming. Namun, ia harus membuat konten yang seringkali membuatnya bingung karena buntu ide.

Posisi Mima sebagai social media specialist membuatnya harus merancang ide dan content planner setiap bulan agar bisa memproduksi konten yang dapat meningkatkan engagement di media sosial.

“Aku juga membuat clickbait, tapi bukan yang menjerumuskan ke hal negatif, melainkan ke hal positif,” kata Mima.

“Aku kadang jenuh karena kerjaan monoton, yakni aku harus membuat konten setiap hari dan memikirkan idenya suka bingung sendiri,” kata Mima.

Selain pekerjaan, tuntutan jam kerja di kantor juga menjadi persoalan bagi Adel dan Mima.

“Aku biasanya masuk pukul 09.00 dan pulang sekitar pukul 18.00,” kata Mima.

Mima merasa jam kantor membuatnya benar-benar merasa seperti pekerja kantoran.

“Aku masuk pukul 09.00 dan pulang pukul 17.30. Setelah itu biasanya pergi keluar bareng teman-teman kantor untuk makan malam,” kata Adel.

Lingkungan kerja oleh Adel dan Mima berbeda. Adel bekerja seorang diri, sementara Mima memiliki tim yang dapat saling membantu.

“Aku bisa seharian di kantor itu tidak ngomong dengan siapa-siapa dari pagi sampai pulang kantor. Aku memang tidak punya teman untuk diajak ngobrol,” kata Adel.

Meskipun berbeda dari segi tim, mereka sama-sama menikmati lingkungan kerja yang kondusif dan teratur.

Adel memiliki tempat untuk berkeluh kesah, yakni mahasiswa lain yang mengikuti program magang MBKM di perusahaan tersebut.

Program magang MBKM menyediakan mentor yang mengarahkan mahasiswa magang MBKM.

Adel dan Mima tahu apa yang harus dilakukan dan diperbaiki jika ada hal yang kurang tepat. Mereka juga bisa meminta saran atau pendapat atas pekerjaan mereka.

Shock Culture

Perubahan yang terjadi saat mengikuti magang tak hanya dari segi jadwal, melainkan dari lokasi.

Ia merasa cukup mengalami culture shock saat berada di PT. Metrodata Electronics, Tbk. yang berlokasi di Jakarta.

“Aku meerasa dari segi bahasa cukup berbeda. Aku dari Jawa Tengah, jadi kalau berbicara pasti medok. Aku tidak bisa sering pakai Bahasa Jawa karena pasti pada nggak ngerti,” kata Adel.

Perbedaan bahasa juga menjadi tantangan bagi Mima yang menjalani magang di Bandung.

“Aku merasa kalau orang ngomong tuh rata-rata pakai bahasa Sunda. Aku bilang pas awal-awal kalau aku nggak ngerti bahasa Sunda,” kata Mima.

Selain bahasa, kecepatan dalam bergerak dan bekerja juga dirasakan oleh Adel dan Mima.

Mereka merasa saat di Yogyarta bisa melakukan hal-hal dengan santai. Di Jakarta dan Bandung, mereka merasakan hustle culture, khususnya bagi Adel. Belum lagi dengan persoalan kemacetan yang sering terjadi di dekat kantornya.

Hustle culture di kantorku kerasa banget, kayak dikasih project yang ada deadlinenya tiap minggu. Semua orang geraknya pasti cepet. Beda kalau di Jogja masih bisa santai,” kata Adel.

Infografis: Olivia Marveline

“Di kantorku itu pasti pada gercep (gerak cepat) juga mengerjakan segala project. Awalnya agak kaget, tapi aku malah merasa termotivasi untuk juga mengerjakan project secepatnya,” kata Mima.

Hal terakhir dari segi harga. Ia membandingkan harga di Jakarta dan Yogyakarta sangat jauh berbeda.

“Di Yogyakarta, kost tidak mau di atas satu juta per bulan. Di Jakarta, kostku dua juta per bulan,” kata Adel.

Tekanan

Kegiatan perkuliahan dan perkantoran memiliki perbedaan signifikan, termasuk dari segi tekanan.

“Aku merasa pressure antara perkuliahan dan perkantoran itu beda. Kalau di perkuliahan kita dikasih tugas, bahkan setelah selesai kuliah kita juga harus melanjutkan tugas di kost,” kata Adel.

Adel merasa tekanan yang dia rasakan dalam dunia perkuliahan terasa lebih berat dibandingkan dunia kerja karena setelah selesai bekerja dia tidak perlu mengerjakan pekerjaan kantor di kost.

“Kalau aku merasa dua-dua sama aja karena tetap ada deadline, di kantor sama seperti kuliah,” kata Mima.

Apa rekomendasi Mima dan Adel bagi mahasiswa untuk mengikuti program MBKM?

“Rekomendasi banget, sih. Soalnya bisa merasakan lebih cepat bagaimana dunia kerja itu,” kata Adel.

“Menurutku ini kesempatan untuk bisa menambah ilmu secara praktek, tidak hanya teori saja kita pelajari di kampus,” kata Mima.

Meskipun harus melalui proses seleksi yang cukup ketat, mereka merasa worth it untuk mengikuti program magang MBKM karena pengalaman yang diberikan cukup berbeda dari dunia perkuliahan. (*)

Kontributor: Olivia Marveline, mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.