Rumah Kuwera, Rumah Tumbuh dan Sanggar Kreatif Komunitas-Komunitas di Yogyakarta

Rumah Kuwera terbagi menjadi empat area yaitu asrama putri, Pastoran Kuwera, Wastu Kopi, dan Kantor Dinamika Edukasi Dasar (DED).

0 532

Katolikana.com—Siapa tak kenal Romo Mangun? Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, nama lengkapnya, adalah pastor, arsitek, budayawan, penulis, dan aktivis sosial dengan sejumlah karya terkenal.

Ia juga dikenal sebagai pembela wong cilik karena kepeduliannya terhadap kelompok marginal.

Rumah Kuwera menjadi salah satu karya unik Romo Mangun. Menurut buku Wastu Citra yang ditulis oleh Romo Mangun, rumah ini menjadi satu-satunya rumah yang dibangun tanpa menggunakan sketch.

Rumah Kuwera terbagi menjadi empat area yaitu asrama putri, Pastoran Kuwera, Wastu Kopi, dan Kantor Dinamika Edukasi Dasar (DED).

Unit Personalia di kantor Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan volunteer Wastu Kopi Simon Galih Gudakesa (29) menceritakan kilas balik Rumah Kuwera.

Simon Galih Gudakesa, Unit Personalia di kantor Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan volunteer Wastu Kopi. Foto: Angela Tasya

“Dahulu rumah ini tempat belajar Romo Mangun dan para volunteer. Kalau sekarang dibuka menjadi sanggar berkreasi,” ujar Galih kepada Katolikana.

Di Keuskupan Agung Semarang Romo Mangun diarahkan menjadi arsitek dengan tujuan membangun gereja-gereja Katolik.

Namun Romo Mangun justru berpikir bagaimana caranya bisa mengurus kelompok marginal dengan segala misi kemanusiaan seperti di Kali Code dan Kedungombo yang terdampak akibat penggusuran.

Romo Mangun memberi perhatian kepada orang-orang kurang mampu dengan memenuhi kebutuhan mereka agar dapat hidup layak.

Dengan pengetahuan arsitek, Romo Mangun membuat rancang bangun untuk memfasilitasi mereka dengan harkat dan martabat agar bisa berkreasi.

Namun sayang, bangunan yang ditinggalkan, misalnya di Kali Code kurang dipelihara. Padahal, tujuan dari fasilitas ini adalah untuk membuat orang-orang belajar, bisa menghargai dirinya, dan berinovasi.

Galih mengatakan Kali Code menjadi titik frustasi Romo Mangun.

“Beliau berpikir, aku kasih bangunan ini tapi kok teman-teman tidak bisa memanfaatkan bangunan itu? Volunteer juga digerakkan ke sana tapi kok tidak bisa mengedukasi masyarakat? Apa yang salah?” ujar Galih.

Suasana Ruang Belajar di Rumah Kuwera. Foto: Angela Tasya

Kilas Balik Rumah Kuwera

Rumah Kuwera digunakan sebagai tempat singgah Romo Mangun dan tempat menginap para volunteer serta tukang Romo Mangun saat menjalankan misinya.

Rumah Kuwera menjadi konsep rumah tumbuh yang berangkat dari citra dan guna. Romo Mangun menganggap citra bangunan ini adalah fungsional. Dalam fungsi tersebut terdapat keindahan yang disebut Wastu Citra.

Setiap bangunan memiliki keterkaitan satu sama lain, meski tidak memiliki kesatuan utuh. Romo Mangun menjadikan rumah Kuwera sebagai tempat menepi, tempat berdiskusi, dan merefleksikan karya-karyanya selama ini.

“Sanggar guru pertama kali dilakukan di rumah ini untuk teman-teman pendidik di SD Kanisius Mangunan,” ujar Galih.

Infografis: Karya Arsitektur Romo Mangun

Dahulu tempat ini menjadi tempat komunitas-komunitas pendidikan berkumpul, menciptakan karya, ide, dituangkan, dan dikembangkan di rumah ini.

“Namun apa yang bisa mempersatukan? Tidak bisa apa-apa mengandalkan Romo Mangun,” ujar Galih.

Menurut Galih, Romo Mangun berdiam diri di rumah ini untuk merenungkan karya-karya dan misinya.

Untuk mempersatukan komunitas-komunitas agar tetap berkumpul di rumah ini, Romo C.B. Mulyatno Pr yang memiliki pengabdi masyarakat, bekerja sama dengan Romo B. Edy Wiyanto Pr membuat program untuk mengumpulkan mahasiswa-mahasiswi tingkat akhir, dengan memberikan pendampingan informal.

Program ini bekerja sama dengan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Gadjah Mada (UGM), beberapa anggota yayasan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dan Sanata Dharma.

“Dahulu sebelum ada Wastu Kopi, di sini mahasiswa mengerjakan skripsi sambil ngopi, dan yang datang benar-benar mahasiswa bimbingan skripsi bersama romo-romo,” ujar Galih.

Wastu Kopi

Wastu Kopi

Setelah Wastu Kopi tercipta, makin lama banyak anak muda yang berkumpul dan menyelesaikan skripsi dan tugas akhir di rumah Kuwera.

“Termasuk dosen-dosen muda pakai tempat ini untuk melakukan bimbingan. Jadi, yang kesulitan di kampus dilempar ke Wastu Kopi,” ujar Galih.

Wastu Kopi mengambil filosofi perjumpaan dan edukasi. Di mana ada perjumpaan dan tujuan yang sama, di dalamnya terdapat edukasi yang berjalan.

“Beberapa komunitas banyak berkumpul di sini seperti komunitas pemerhati seni, komunitas seni,” ujar Galih.

Selain komunitas, terdapat beberapa kelompok pendidik yang dikumpulkan oleh Romo Bernadus Singgih Guritno Pr yang dikenal sebagai kelompok Sinode.

Kemudian program POP yang diciptakan oleh yayasan sebagai bentuk peduli pendidikan Romo Mangun yang ingin dikepakkan sayapnya. Semua tercipta dan dikembangkan di rumah Kuwera.

Berbicara tentang Wastu Kopi, mereka memiliki kelas untuk belajar kopi. “Teman-teman bisa datang dan belajar kopi di sini. Wastu Kopi sangat terapresiasi dengan kedatangan teman-teman yang ingin belajar dan merawat rumah ini,” kata Galih.

“Kami tidak menggunakan aplikasi marketplace karena Wastu bukan tempat bisnis. Jadi, beli kopi hanya menukar biaya produksi saja. Tidak ada bayar pajak dan teman-teman tidak dibayar seperti barista pada umumnya,” ujar Galih.

Galih juga bercerita bahwa dahulu konsep Wastu Kopi merupakan kantin kejujuran namun ternyata tidak menutupi biaya operasional sehingga disepakati harga Rp10.000 tiap minuman.

Sejauh ini yang ditawarkan oleh Romo Edi hanya kebersihan dan merawat lingkungan rumah.

Lebih dari itu apa yang didapat adalah Wastu Kopi dapat menyumbang dan memenuhi apa yang dibutuhkan oleh Rumah Kuwera.

“Inisiatif lain kita menyumbang galon dan kebersihan. Ke depan seperti apa masih dalam tahap perencanaan karena Romo Edi sebagai founder berpindah tugas. Yang penting bisa berkarya di bidang pendidikan dan menimbulkan kepekaan dan kerelaan untuk menyediakan waktu berkarya dan mengabdikan diri di sini,” ujar Galih.

Cinde Larasati (30) dari komunitas Akar Ruan. Foto: Angela Tasya

Sanggar Kreatif

Untuk mengumpulkan sejumlah komunitas di Rumah Kuwera, Romo Singgih berkoordinasi dengan Wastu Kopi, lalu mengumpulkan satu persatu komunitas yang sering berkumpul di sini.

“Esensi nilai teman-teman berkumpul di sini sudah ada namun tujuan teman-teman berkumpul akan diarahkan ke mana? Goals ini yang masih dicari bareng-bareng terutama untuk kantor karena kami akan mengolah proses dinamika teman-teman di sini,” ujar Galih.

Komunitas-komunitas terdiri dari komunitas yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, budaya, yang menawarkan edukasi dan filosofi, karena Wastu tidak terlepas dari arah pendidikan.

“Misalnya komunitas Arsitektur mengkaji bangunan Romo Mangun, kemudian membuat kelas untuk meneliti bangunan seperti mengkaji fungsional, kegunaan, keindahan, filosofi, lalu dikaitkan dengan nilai sosial yang muncul di masyarakat,” ujar Galih.

Cinde Larasati (30) dari komunitas Akar Ruang mengaku sering berkumpul di rumah Kuwera. Menurut Cinde, komunitas Akar Ruang memiliki kegelisahan ruang. Mereka ingin mencari ruangan yang tidak hanya duduk saja, melainkan bisa bermain.

“Titik kumpul di rumah Kuwera menjadi pertimbangan yang paling banyak disetujui oleh anggota-anggota Akar Ruang,” kata Cinde.

Cinde mengaku ia dan teman-teman mencoba menerapkan ilmu-ilmu dari Romo Mangun.

“Romo memperjuangkan hak-hak pendidikan dan kelayakan hidup. Kami mencoba memanusiakan teman-teman minoritas. Kami mengundang teman-teman minoritas untuk berdiskusi dan melihat masalah mereka dari bermacam-macam sudut pandang,” ujar Cinde.

Di Rumah Kuwera, Cinder dapat bertemu dengan banyak teman, kerabat, dan komunitas lain serta mendapatkan wawasan dan eksplorasi diri ketika berada di rumah Kuwera.

Ide-ide pembelajaran dari Romo Mangun dapat diestafetkan dalam kehidupan sehari-hari dan digunakan sebagai edukasi dalam pengembangan kreasi.

“Dengan adanya sanggar kreatif di Rumah Kuwera ini diharapkan mereka dapat menyumbangkan kreasi-kreasi untuk pendidikan,” pungkas Cinde. (*)

Kontributor: Angela Tasya Regita Cahyani, mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.