Menumbuhkan Dialog Kehidupan Mulai dari Keluarga

Kendati dilahirkan dari orang tua dan keluarga besar yang memiliki perbedaan etnis, hal itu tidak menjadi menjadi tembok yang menghalangi bagi keluarga Ruth untuk membangun hidup rukun dan damai.

0 323

Katolikana.com—“Tidak akan ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian agama-agama, tidak akan ada perdamaian agama tanpa adanya dialog antaragama, tidak akan ada dialog antaragama tanpa melacak nilai fundamental dari setiap agama.”

Pendapat Hans Kung, seorang penggagas rumusan etika global masih relevan dengan situasi dunia saat ini seiring dengan semakin maraknya perilaku kekerasan yang membawa nama agama. Karena itu, dialog antar umat beragama dan kepercayaan lain di Indonesia menjadi sangat penting, bahkan menjadi sebuah kebutuhan dalam hidup bermasyarakat.

Berikut ini kisah dan pengalaman dialog kehidupan dari Ruth Wulan Maharani Putri Pao, salah satu siswa Katolik kelas XII IPS 1 SMAN 2 Kota Mojokerto. Kedua orang tua Ruth berasal dari etnis dan agama yang tidak sama. Sang ayah Adeodatus Dance Pao berasal dari Sikka Flores dan beragama Katolik sementara ibunya Shofiatin dari etnis Jawa tepatnya berasal dari Desa Betro Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto.

Kendati dilahirkan dari orang tua dan keluarga besar yang memiliki perbedaan etnis, hal itu tidak menjadi menjadi tembok yang menghalangi bagi mereka untuk membangun hidup rukun dan damai. Menurut Ruth upaya mengembangkan dialog antar umat beragama seyogyanya menjadi sebuah gerakan bersama yang bisa dimulai dari lingkungan terkecil yakni keluarga. “Perbedaan agama di negara kita sepatutnya diterima sebagai berkat dari Tuhan untuk bangsa ini” ungkap Ruth di sela-sela aktivitas pembelajaran.

Hal yang membanggakan Ruth adalah keberadaan sang nenek yang menjadi pengikat rasa persaudaraan dan sosok yang menyatukan semua anggota keluarga. “Walaupun sibuk dengan berbagai aktivitas, keluarga terutama dari pihak mama yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan kami senantiasa meluangkan waktu untuk datang ke rumah kami untuk berkumpul dan bercengkrama bersama” ujar Ruth. Melalui perjumpaan dengan saudaramya, Ruth menemukan pesan bermakna terkait dialog dan toleransi terhadap perbedaan yang ada didalam keluarga besarnya.

Ruth melanjutkan cerita tentang spirit dialog dan toleransi yang ada dan bertumbuh didalam keluarganya “Di rumah, aku juga tinggal dengan nenek yang beragama muslim. Setiap pagi nenek selalu membangunkan aku untuk mengikuti misa harian setelah itu lanjut mengikuti pelajaran di sekolah. Lingkungan tempat tinggalku semuanya beragama muslim, hanya keluargaku saja satu-satunya yang beragama Katolik.”

“Tetanggaku tidak pernah mempersoalkan tentang agama. Terlepas dari perbedaan agama, para tetanggaku baik, saling menghormati dan toleransi, bahkan walaupun papa seorang katolik, saat ada tahlilan, hajatan, papa selalu di undang dan pasti menghadirinya.”

“Demikian juga jika ada tetangga atau keluarga yang meninggal, kami sekeluarga hadir dan melayat hingga ke pemakaman. Bahkan rumah kami sering ada hajatan yang dilakukan dengan ritus islam sesuai keyakinannya nenek. Dulu sebelum mama masuk Katolik, acara syukuran di rumah juga dilaksanakan dengan tata cara Islam. Namun semenjak mama dibaptis menjadi anggota Gereja acara syukuran dilakukan secara Katolik. Kisah yang sangat menarik bagi saya adalah jika di rumah ada doa lingkungan, doa rosario, dan lain sebagainya, tetangga tidak pernah mempersoalkannya. Bahkan ada beberapa keluargaku yang beragama islam itu ikut membantu menyiapkan dan menghidangkan makanan ringan dan konsumsi lainnya untuk umat Katolik yang hadir ketika selesai doa.”

Ruth pun berkisah juga tentang peliknya kisah cinta kedua orang tuanya yang memiliki perbedaan dari sisi etnis dan keyakinan. “Hubungan khusus antara kedua orang tuaku pada masa pacaran sempat mendapat penolakan dari nenek. Seiring perjalanan waktu dan intensitas komunikasi antara papa dan keluarga besar mamaku akhirnya mereka bisa melangsungkan perkawinan walaupun tidak di gereja paroki tetapi di Stasi Pacet. Setelah menikah secara Katolik pada tahun 2000, Mamaku (Shofiatun) belum memutuskan untuk memilih keyakinan menjadi Katolik mengikuti Papa,” kata Ruth.

“Setelah memasuki usia pernikahan yang ke-22, akhirnya Mamaku memutuskan untuk berpindah keyakinan menjadi Katolik melalui pembaptisan di malam Paskah tahun 2021.”

Menurut Ruth pasca mamanya masuk Katolik, mereka bisa berdoa bersama dan kualitas iman dalam keluarga bertumbuh semakin baik serta kokoh. Ada hal menarik pasca ibunya dibaptis, yakni keluarga besar sama sekali tidak mempersoalkannya. Bahkan saat Hari Raya Idul Fitri tiba, nuansanya kekeluargaan tetap terjaga dengan baik seperti sungkeman kepada nenek, saling bersalaman dan memaafkan,ngobrol, makan bersama, dan foto bersama. Demikian juga saat hari raya Natal hal yang sama terus bertumbuh dalam keluarganya.

Interaksi dan dialog terkait etnis yang berbeda juga Ruth alami saat dirinya berusia 10 tahun tepatnya ketika bersama keluarga intinya mengunjungi keluarga besar sang ayah di Nangablo Kabupaten Sikka tahun 2014 dan 2018 ketika nenek atau ibu dari papa meninggal. Kehadiran Ruth saat itu adalah untuk yang kedua kalinya. Menikmati liburan kampung halaman (Nangablo) selama 3 minggu menyisahkan beberapa pengalaman unik yang dirasakan oleh Ruth.

Pertama, pengalaman iman saat dirinya menerima Sakramen Baptis oleh RD. Silvester Oba di Gereja Katolik Paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria Tilang Nangablo. “Semua orang di sana beragama Katolik sehingga kami bisa berdoa di rumah dan ke Gereja bersama. Momen seperti tidak sama dengan di rumah kami (Betro) yang berdoa dengan cara yang sama hanya kami berempat saja (papa, mama, kakak, dan saya). Sangat bangga karena secara sah menjadi anggota Gereja Katolik ketika sedang berada di daerah yang mayoritas Katolik” kata Ruth.

Kedua, kuatnya ikatan persaudaraan dalam masyarakat setempat terutama di kalangan keluarga besar ayahnya. Semua orang yang berada di Nangablo adalah saudara. Ketika hendak berkunjung ke rumah saudaranya papa, tidak boleh meninggalkan rumah jika belum makan. Menghargai tamu dengan cara seperti ini jarang bahkan tidak pernah dialami sebelumnya. Ketiga, penghormatan yang sangat tinggi terhadap adat istiadat dan leluhur atau anggota keluarga yang sudah meninggal seperti menempatkan kuburan di depan rumah sehingga meninggalkan kesan angker tentang makam.

Kekayaan tradisi di desa Betro yang menghadrikan spirit dialog dan toleransi bagi Ruth adalah tradisi Weweh yakni kebiasaan membagikan makanan kepada saudara atau tetangga yang biasanya dilakukan pada bulan Ramadan tiba. Sebagai umat Katolik Ruth memaknai kebaeradaan keluarganya di tengah masyarakat juga menghadirkan wajah Gereja. Oleh karena itu menjelang Ramadhan ia membantu sang ibu memasak dan menyiapkan makanan untuk dibagi-bagikan kepada tetangga sekitar yang berada di sekeliling rumahnya.

Walaupun beda keyakinan Ruth merasa senang karena bisa mengikuti tradisi dan membagikan makanan kepada tetangga dan orang sekitar. Demikian juga ketika sang nenek, tetangga, dan temannya di kampung Betro menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadhan, Ruth menghormati dengan menempatkan diri secara baik terutama menyangkut kebiasaan makan dan minum.

Saat hari raya Idul Fitri, semua keluarganya berkumpul di rumah dan tanpa ada sekat apapun mereka turut merasakan suasana Lebaran dan terlibat aktif untuk menyiapkan kebutuhan nenek merayakan hari besar kegamaan tersebut dengan menyiapakan konsumsi, sungkem dan mohon restu dari nenek dan kedua orang tua serta bersalaman dengan tetangga dan saudara. Selain itu Ruth juga bersilaturahmi dengan mengunjungi saudaranya yang berada di tempat lain.

Pengalaman menumbuhkan semangat dialog kehidupan dan toleransi juga dirasakan Ruth semasa berada sejak di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Betro dan SMAN 2 Kota Mojokerto dimana mayoritas siswanya beragama Islam. Sementara saat SMP Ruth menghabiskan masa belajarnya di SMP Katolik Santo Yusuf Mojokerto. Relasi pergaulan dan pertemanan dengan sahabat yang berbeda keyakinan di SMAN 2 Mojokerto tidak ada kendala sama sekali. Bahkan antara Ruth dan teman-temannya bisa saling sharing tentang agama masing-masing, terutama tentang aktivitas yang dilakukan pada hari besar keagamaan masing-masing seperti Natal, Idul Fitri, dan lain-lain.

“Pengalaman unik yang juga saya rasakan saat bulan Ramadhan adalah, teman-teman sering mngajak saya untuk mengadakan acara buka puasa bersama. Jika mereka sedang bermain di rumahku, saya juga sering mengingatkan agar menjalankan sholat jika waktunya tiba. Perbedaan yang ada sama sekali tidak membuat kami saling menjauhi tetapi justru sebaliknya. Hubungan pertemanan justru semakin dekat dan akrab” kata Ruth sembari menyibakkan rambutnya.

Melakukan dialog kehidupan melalui tindakan nyata seperti bertegur sapa, bergaul, dan saling mendukung serta saling membantu satu sama lain yang dilakukan oleh Ruth bukanlah demi tuntutan sopan santun dan etika pergaulan semata tetapi juga merupakan tuntutan iman kita yang seharusnya terus tumbuh dan berkembang serta dipelihara dengan baik dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini.

Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), Anggota Pustaka Bergerak Indonesia, Pendiri Sa’o Pustaka dan beberapa Taman Baca serta pegiat literasi nasional. Lewat GKdB penulis menggerakan masyarakat baik secara pribadi maupun komunitas dalam mendonasikan buku untuk anak-anak di seluruh Indonesia. Guru Motivator Literasi (GML) tahun 2021.

Leave A Reply

Your email address will not be published.