Puisi-Puisi Putra Niron

Pria kelahiran Dili 1991 ini jatuh cinta pada tulisan Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo.

2 68

Saksi Kelambu

Hampir sebagian besar kisah Maria
Habis dinikmati di dalam kelambu.
Kelambu tak pernah mengeluh
Atau bahkan bersungut juga mencibir
Meski kisah kita tak menarik,
Tak sedap didengar.
Tak nyaman di telinga.
Aku salut kepada kelambu.
Dia bahkan tak mengijinkan nyamuk untuk bersama kita
Ketika sedang bercerita.
Mereka bisa jadi hanya menguping di balik kelambu.
Dan banyak kisah kita mungkin lebih aman di balik kelambu.
Karena setelah itu kita terlelap
Membiarkannya terbawa dalam mimpi
Bahwa esok kita harus segera meninggalkan kota,
Jika tak ingin nyawa kita yang meninggalkan raga
 
Malaka, Desember 2021 

Dia Tak Pernah Malu

Tentang kata-kata yang terbentuk dari bibir ibumu,
Aku yakin,
Sebelum dia menerima
Dirimu di rahimnya,
Dia tidak pernah berpikir untuk malu.
 
Malaka, menjelang kelahiran Isa Al-masih 2021 

Jatuh Cinta

Ketika selesai bersalin,
bibir Maria menyeruput secangkir kopi,
Aku kadang berpikir,
Mengapa kopi tidak jatuh cinta saja pada gula.
Daripada aku yang harus jatuh berulangkali padanya.
 
Malaka, 8 Desember 2021 

Di Bibirnya

Maria,
Di bibirmu ada aroma jerami
Yang kau hisap
Saat kau sedikit jenuh menemani bayi itu.
Terhitung bagian dari hiburan.

Malaka, setelah Al-Masih lahir, 2021

Jalanan Sepi

Tidak ada candu di sana.
Terlalu sunyi untuk isak seorang anak.
Peluhnya benar-benar berdarah.
Darahnya benar-benar tercurah.
Di jalanan sepi itu,
Segerombolan wanita bersiap meratapi bilur lukanya
Mereka menangisi sendiri perihnya.
Di sudut kerumunan, Maria hanya terdiam dalam kesakitan yang luar biasa.
Jalanan sepi itu jadi saksi,
Bahwa hati sungguh hanyalah seonggokan daging
Yang sewaktu-waktu bisa dilahap oleh Anjing.
Jalanan sepi itu jadi candu,
Ketika kemarin,
Dengan sorak ria mereka menyambutnya,
Kini dengan sorak cacian mereka membawanya kepada maut.

Malaka, 2022

Kopi dan Cara Membunuh Ingatan

Cerita tentang kepergianmu
Telah sampai juga di telinga para wartawan.
Sejenak aku membatin,
Begitu kejamnya kehidupan,
Bahkan setelah kau meninggal,
Engkau masih saja dicari.
Aku sepertinya perlu menaruh sesuatu di cangkir para wartawan itu,
Agar mereka membunuh ingatan akan engkau.
Tetapi memang benar bahwa kau perlu dicari bahkan sampai ke liang lahat,
Setimpal dengan apa yang telah kau perbuat pada dunia.
Namun dunia masih saja tak bergeming.
Tak tahukah mereka bahwa
Bahkan Ibumu Maria, harus tersiksa tak terkira menyaksikan kematianmu.
Sebuah pengorbanan yang tiada bandingnya.
Maria sore itu, masih menyuguhkan secangkit kopi untuk ayahmu.
Mungkin untuk membunuh ingatan.
Maka aku batalkan niatku untuk menaruh seseuatu pada cangkir kopi para wartawan,
Toh untuk manusia sepertimu,
Tidak perlu kopi untuk melupakan ketulusanmu.

Malaka, 9 Desember 2021 

Kau dan Mejamu

Kau mati sambil memeluk mejamu.
Itu meja kesayanganmu.
Di sana setiap hari ibu meletakan segelas kopi beraroma cinta.
Namun, di hadapan teman-temanmu,
Kau menertawakannya.
Entah berapa dalam kau menikam hati ibu dengan lelucon kopinya.
Dia tak lupa menaruh sebutir gula,
Sesuai pesananmu.
Agar tetapi pahit seperti kehidupan rumah tanggamu.
Kau perlu bersyukur,
Karena ibu tak ada niat sedikitpun
Untuk mengakhirimu dan lelucon di atas meja itu.
Jika tidak, mungkin sebelum aku lahir,
Dirimu telah dimakamkan bersama mejamu itu.
Atau bisa saja kayu-kayunya dijadikan peti matimu.
Tetapi cinta ibu lebih kuat dari itu.
Hingga akhirnya kau pergi karena teman-temanmu bosan mendengar leluconmu.

Malaka, 10 Desember 2021

Segelas Saja

Sejak bertamu di rumahmu,
Dan anak gadismu, Maria
menyuguhkan segelas kopi,
Aku seringkali jatuh cinta.
Seringkali,
Bahkan aku lupa kapan aku bisa berhenti jatuh.
Anakmu menakar bubuk kopi dengan sangat terampil
Bak memetik bijinya dengan anggun sebelum
memasukkan ke dalam keranjangan anyaman kakek.
Baru aku tahu bahwa nenek moyang keluargamu pernah
Berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan mereka.
Itu sebabnya aku kadang merasa tak sepadan,
jika bersanding dengan anak gadismu.
Perasa kopiku telah tiada,
Aku mati rasa padanya.
Jadikan saja lelaki di seberang sana menjadi menantumu.
Dia akan lebih bisa merasa aroma kopi dengan baik.

Malaka, 12 Desember 2021

Pegiat Literasi Komunitas AMI Malaka dan Komunitas Sosial Sasoka. Penulis Kumpulan Puisi Penyair bukan Kami (2017); Kami dan Perjamuan Terakhir (2018); Mata Cermin (2022)

2 Comments
  1. Yoseph Widyawan says

    Mantap keren👍 Salam puisi 🙏

    1. Putra Niron says

      Terima kasih banyak Mas.. Salam sehat… Tuhan memberkati

Leave A Reply

Your email address will not be published.