Menguji Stigma Bahasa Indonesia di Kalangan Gen Z

Gen Z identik sebagai generasi yang lekat dengan teknologi sejak lahir. Tak heran jika mereka sangat adaptif dengan perubahan, termasuk berbagai perubahan dalam sisi bahasa.

0 1,035

Katolikana.com—Pemaknaan sebuah bahasa berangkat dari kesepakatan yang dibangun bersama. Setiap generasi, misalnya, memiliki tren berbahasa sendiri, termasuk generasi Z.

Sebagai generasi yang adaptif, maraknya penggunaan bahasa gaul dan bahasa asing di kalangan ini dianggap dapat menenggelamkan eksistensi bahasa Indonesia.

Gen Z identik sebagai generasi yang lekat dengan teknologi sejak lahir. Tak heran jika mereka sangat adaptif dengan perubahan, termasuk berbagai perubahan dalam sisi bahasa.

Namun, stigma yang kaku, membosankan, bahkan sulit dalam berbahasa Indonesia kerap muncul di kalangan Gen Z.

Kekeliruan stigma dan fenomena penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak muda, khususnya Generasi Z, dibahas dalam LiveTalkshow #KatolikanaMuda, kolaborasi Katolikana TV dan Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Minggu (9/5/2021) pukul 13.00 WIB.

Live Talkshow bertajuk ‘Ulik Asik Bahasa Indonesia dan Gen Z’ ini menghadirkan narasumber Bernadetta Rini S., S.PD., M.M., tenaga pendidik yang telah mengabdikan diri selama 15 tahun sebagai guru dan enam tahun sebagai dosen Bahasa Indonesia. Narasumber kedua Habel Elia Natanael Santoso, Terbaik II Duta Bahasa Nasional 2019.

Bernadetta Rini (kiri) sedang memberikan penjelasan. Foto: Tangkapan Layar Pribadi

Bahasa Sesuai Konteks

Bagaimana penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Menurut Rini, Bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak melulu tentang penggunaan format bahasa baku.

Rini menjelaskan bahwa penggunaan bahasa dapat dikatakan baik dan benar jika sesuai dengan konteksnya.

“Kalau kita berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bagaimana kita melihat konteks. Di media sosial, memang saya melihat ada kelonggaran dalam penggunaan bahasa Indonesia. Saya kira ini tidak masalah, karena konteksnya bukan konteks resmi,” tegas Rini.

Rini sempat menyinggung masalah praktik penggunaan bahasa. Rini mengingatkan bahwa penggunaan bahasa tidak terbatas pada kegiatan menghafal kosakata, ejaan, dan tata bahasa. Bagi Rini, penggunaan bahasa Indonesia seseorang dapat menunjukkan pola pikir.

“Saya selalu mengatakan penggunaan bahasa Indonesia itu sama dengan bagaimana menggunakan logika berpikir. Jangan berpikir bahwa ejaan yang benar itu dihafalkan. Sebenarnya itu kan pola berpikir,” ungkap Rini.

Habel sebagai bagian dari Gen Z punya perspektif lain ketika bicara mengenai penggunaan bahasa Indonesia.

“Bahasa Indonesia itu bisa baku tapi bukan kaku. Bahasa Indonesia itu bisa laku, tidak mesti begitu-begitu melulu,” jelas Habel.

Ia mengatakan hal tersebut dalam konteks banyaknya Gen Z yang kurang memahami lebih lanjut atau perlu belajar lagi dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai konteks.

Bangga Berbahasa Indonesia

Minimnya penggunaan bahasa Indonesia terpengaruh oleh adanya bahasa asing yang lebih dekat dengan Gen Z, dengan anggapan akan membuat seseorang lebih keren, lebih memiliki kapabilitas, dan lain sebagainya. Inilah mengapa, rasa bangga akan bahasa Indonesia cenderung sulit untuk ditemui.

Habel Elia Natanael Santoso (kiri) memberikan penjelasan dalam Live Talkshow. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi.

“Karena yang paling susah dari bahasa Indonesia itu bangganya. Kalau praktiknya mungkin bisa belajar, tapi rasa bangga itu harus ditumbuhkan dari diri sendiri,” ujar Habel.

Habel menyoroti warga Indonesia yang bertanya-tanya terkait Presiden Jokowi yang menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang PBB.

Padahal menurut Habel, hal ini memang diperbolehkan karena bahasa Indonesia sudah masuk dalam daftar calon bahasa resmi dunia.

Antusiasme Penonton

Tak sedikit penonton memberikan komentar positif terkait topik pembahasan ini. “Makin bangga sama bahasa Indonesia gara-gara Talkshow hari ini,” ujar Anastasia Mellania.

Memasuki sesi tanya jawab, antusiasme penonton pun meningkat. Terdapat empat orang penanya dari kolom chat langsung yang bertanya terkait topik ini kepada Rini dan Habel.

Bentuk interaktivitas lain juga hadir dalam relasi pemandu acara (host) dengan narasumber. Pada penghujung acara, host memberikan tantangan bagi narasumber untuk membuat pantun.

Tidak sesederhana itu, pantun yang dibuat harus mengandung satu kata rahasia yang sudah disiapkan tim. Kata yang dipilih acak oleh narasumber adalah “Garang” dan “Gayung”.

Trigatra Bangun Bahasa

Talkshow ditutup dengan kesimpulan bahwa stigma bahasa Indonesia yang beredar dalam Gen Z sebenarnya keliru. Bahasa Indonesia justru dapat membantu logika berpikir yang baik dan akhirnya menjadi jembatan dalam persoalan komunikasi.

Namun, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap harus disesuaikan dengan konteksnya. Hal yang penting diingat adalah Trigatra Bangun Bahasa, yakni “Utamakan bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing, lestarikan bahasa daerah”. *

Kontributor: Damarra Kartika Sari, Valencia Yuniarti Sutjiato, Frederica Nancy Sjamsuardi, Silvester Alvin Basundara (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.