Jangan Mengaku Orang Katolik Jika Tidak Bisa Mengampuni

Jangan sia-siakan untuk terus menyimpan dendam dan sakit hati.

0 125
Anastasia Eka Pratiwi

Oleh Anastasia Eka Pratiwi

Katolikana.com—Ketika mendengar homili saat Misa hari Minggu (17/9/2023) dengan tema mengampuni (Matius 18:21-35), rasanya saya ketampar banget, karena apa yang disampaikan romo benar-benar ngena banget!

“Coba nanti cek WhatsApp Bapak, Ibu, OMK sekalian. Berapa banyak kontak yang udah Anda block? Cek juga sosmed, berapa banyak teman atau keluarga yang sudah di-unfollow, di-block?”

“Kalo Anda semua bilang: ‘Susah romo untuk mengampuni. Rasanya masih sakit banget kalo diinget gimana mereka menyakiti saya’.”

“Iya, saya tahu. Saya juga pernah sakit hati. Saya tahu memang tidak mudah untuk mengampuni. Tapi kita bisa belajar, pelan-pelan, mungkin bisa dimulai dengan unblock kontak orang yang kita gak suka, biarkan saja kontak mereka tetap ada di WhatsApp kita. Paling nggak, kita berusaha perlahan-lahan dari pada terus menerus mengeraskan hati kita untuk terus-terusan menaruh dendam.”

Jleb! Astaga romo ini sungguh-sungguh bikin aku ketampar dengan khotbahnya.

“Bapak Ibu OMK sekalian, kalua kita terus-terusan mengeraskan hati untuk membenci, tidak mau mengampuni, siapa yang rugi? Siapa saya tanya?”

“Hayo… Kita sendiri! Kita digerogoti rasa negatif yang lambat laun akan merusak mental kita juga. Lebih baik ampuni! Gak usah bilang ke orang itu: Hei, aku mengampuni kamu walaupun kamu sudah sangat menyakitiku…

“Gak! Bukan! Tapi saat berdoa sama Tuhan, bilang Tuhan, aku mau mengampuni dia… Sebut Namanya. Sebut kenapa dia menyakiti kamu. Bilang sama Tuhan: ‘Aku masih sangat sakit hati Tuhan. Tapi tolong bantu aku untuk tidak lagi mengeraskan hatiku.”

“Ya, kurang lebih seperti itu. Gimana baiknya Anda semua nanti saat berdoa minta Tuhan untuk melembutkan hati anda dan mulai mengampuni.”

“Karena kalau Anda tidak mau belajar mengampuni, maka kata: ‘Ampunilah kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami’ di doa Bapa Kami yang Anda daraskan tiap hari akan menjadi kata-kata kosong, kata-kata rutinitas yang tidak ada maknanya.”

Homili Minggu kemarin jadi spesial buat aku, aku sematkan di pikiranku dan aku bilang sama Tuhan: Aku mau berusaha mengampuni.

Memaafkan itu membebaskan. Foto: cbn.com

Memaafkan dan Mengampuni untuk Kebaikan Kita

Sebagai orang yang sudah matang secara umur, aku pasti sudah sangat pengalaman dengan dikecewakan, dijahatin, dan disakiti hatinya, yang akhirnya membuat aku sakit hati teramat sangat sampe ingin rasanya membalas dendam.

Terakhir kali aku disakiti itu justru dari orang paling dekat denganku. Memang orang yang paling berpotensi menyakiti kita adalah orang terdekat kita.

Saat aku sadar aku disakiti dan dijahati aku menghabiskan energiku banyak banget untuk menangis dan galau hingga sebulan lamanya. Tidak pengen makan, tidak pengen kerja.

Tapi demi menjalankan profesionalisme sebagai wanita bekerja dan ibu, aku tetap harus tetap menjalankan peranku.

Percayalah, aku menjalankan peran seakan tidak terjadi apa-apa, padahal hati lagi gak baik-baik aja itu susah banget.

Tahu apa yang bikin aku kuat? Yang bikin aku kuat adalah penyertaan Tuhan kepadaku. Tuhan yang menguatkan hatiku.

Setiap aku menangis, aku mengadu sama Tuhan. Setiap teringat kejadian itu, aku mengadu sama Tuhan, dan seakan mengerti (dan pastinya Tuhan sangat mengerti kita).

Aku tidak mengerti lagi—out of speech—kalau membahas penyertaan dan kasih Tuhan. Rasanya tuh kayak dipeluk Tuhan, hangat banget. Saat itu terjadi, rasanya kesedihanku berangsur diangkat, beban di pundak rasanya terangkat. Hal ajaib yang nyata tapi tidak bisa diceritakan dengan kata-kata.

Suatu hari aku menemui temanku yang sudah jadi romo. Aku sengaja datang ke gereja di mana beliau bertugas. Setelah misa aku menemui beliau dan mengajaknya duduk sebentar di kursi paling depan dekat altar.

Aku ceritakan masalahku. Beliau berpesan agar aku mau belajar mengampuni, karena kalau aku sudah berhasil katanya aku pasti akan merasakan perbedaannya: tubuh jadi lebih sehat, pikiran positif, dan hati gembira kembali. Kalau sudah begitu, aku bisa kembali melanjutkan hidup dengan sukacita.

Selesai curhat, beliau menumpangkan tangannya di kepalaku dan memberkatiku.

Di situ aku menangis sejadi-jadinya sampai berlinang air mata deras karena aku mengingat sakit hatiku tapi aku harus bisa mengampuni seperti yang Tuhan perintahkan.

Rasanya sakit sekali di dada, membuatku sesak tapi romo kemudian menepuk-nepuk lembut punggungku dan berkata: “Gak papa, semua butuh proses. Serahkan semua sama Tuhan, jangan sok kuat sendiri.”

Setelah setahun berlalu, jujur aku masih suka teringat karena kejadian buruk yang terjadi di hidup kita tidak akan pernah hilang dan pasti tetap membekas.

Namun, setelah aku bisa mengampuni, semua jadi beda. Aku memang masih bisa mengingat, tapi rasa sakit itu udah tidak ada,  karena aku mau mengampuni. Tuhan mencabut akar pahit itu dari hatiku.

Setelah itu, aku menjadi lebih berenergi, semangat lagi menjalani hidupku, wajahku lebih glowing karena hormon oksitosin keluar terus.

Aku sudah move on dari sakit hati. Benar kata romo, jika kita sudah bisa mengampuni rasanya akan sangat beda. Semua itu hasilnya untuk kita sendiri, bukan untuk orang yang menyakiti kita.

Cerita ini berasal dari pengalaman pribadiku. Aku bisa bercerita karena anggaplah aku adalah survivor mengampuni.

Jika kamu masih galau, aku bisa jamin hidupmu akan lebih berwarna dan jauh lebih baik jika kamu sudah bisa mengampuni mereka yang menyakiti kamu.

Kasih Tuhan itu berkelimpahan banget buat kita. Jangan sia-siakan untuk terus menyimpan dendam dan sakit hati.

Semangat buat kamu yang lagi otewe belajar mengampuni, kamu pasti bisa. Kita sebagai orang Katolik harus bisa mengampuni, karena itulah esensinya menjadi Katolik. (*)

Anastasia Eka Pratiwi, warga Paroki Jagakarsa, Jakarta Selatan

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.