Kitab Suci dan Kecerdasan Buatan

Berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan AI untuk mengendalikan manusia secara penuh?

0 159

Katolikana.com—Menarik ketika menyaksikan film Mission Impossible: Dead Reckoning  Bagian 1, ketika melihat Tom Cruise sebagai Ethan Hunt, agen Impossible Mission Force (IMF) bersama teman-temannya beraksi melawan sosok antagonis yang paling berbeda dari musuh-musuh sebelumnya yakni Entity.

Ia dikatakan berbeda karena ia merupakan sebuah program kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang memberontak dan berencana untuk mendapatkan kunci demi membebaskan diri.

Untuk mencapai itu, AI ini menggunakan manusia dan bisa memanipulasi semua mekanisme digital untuk memuluskan jalannya.

Hal lain yang  menarik di sini juga bukan cuman aksi-aksi akrobatik dan menantang dari para bintang film. Hal itu adalah bagaimana IA ini memuluskan kerja manusia yang dipakainya dengan mengkonstruksi kebenaran dan membuat berbagai manipulasi dalam dunia digital dan kekuatan internet sehingga realitas bisa ada dan tidak ada dalam waktu bersamaan.

Mission Impossible: Dead Reckoning Bagian 1

Manusia, Realitas dan Artificial Intelligent (AI)

Di masa sekarang ini, ketika hidup manusia sudah banyak bersentuhan dengan teknologi yang dibekali dengan AI, banyak produk digital yang dibuat manusia memperoleh banyak bantuan dengan kehadiran AI.

Manusia bisa menciptakan berbagai konten, berkomunikasi dan berinteraksi, beraktivitas dan bekerja dalam dunia digital. Namun semua kegiatan yang dibuat manusia itu berada dalam koridor digital yang tentunya di dalam batasan kemampuan AI teknologi yang ada.

Secara tidak langsung ketika masuk ke dalam dunia digital, AI-lah yang menjadi pemandu manusia, memberikan peraturan, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang bisa dan tidak bisa dalam mengkonstruksi realitas.

Dengan kata lain, manusia hanya bisa mengkonstruksi ruang kehidupan, ruang interaksi, ruang komunikasi berangkat dari yang offline sampai ke ruang online dengan bantuan dan pengendalian AI.

Akibatnya, perubahan interaksi sosial manusia akibat kehadiran gawai atau bahkan perubahan kebijakan dalam pemerintah menyangkut aspek ekonomi seperti persoalan jual beli di dunia maya, juga menunjukkan bahwa kehadiran AI sanggup mengubah hal-hal yang ada di dalam dunia nyata menyesuaikan dengan kondisi di dunia maya.

Lebih jauh, ketika mengkonstruksi realitas atau ruang itu sendiri, batasan antara hal yang benar-benar nyata atau hal yang dibuat menjadi nyata menjadi sangat tipis.

Tindakan ini membuat manusia memperkuat eksistensi AI ini karena perilaku keseringan manusia memproduksi realitas, bahkan membuat manusia secara tidak sadar menciptakan ruang-ruang kebenaran sangat bergantung pada kemampuan AI.

Realitas atau ruang yang demikian menciptakan Simulacra dalam istilah Jean Baudrillard (1981), yakni kondisi di mana terdapat hiperealitas, atau realitas dalam jumlah yang banyak dan membuat manusia tidak bisa membedakan mana yang asli atau mana yang hanya merupakan simulasi (Storey, 2015).

Simulasi yang dibentuk ini pun dalam perjalanan waktu semakin menurunkan peran manusia sebagai pengendali dan beranjak secara perlahan ke dalam dominasi AI.

Hal ini terjadi karena semua simulasi itu berjalan dan terproduksi oleh bantuan dan ketersediaan dan kecanggihan AI. Jika tidak terlalu naif, dapat dikatakan bahwa era teknologi dan kecerdasan AI mulai secara perlahan dan tidak disadari mengontrol manusia.

Sebut saja, dalam kasus tertentu seperti ketidaksukaan seseorang terhadap orang tertentu yang bisa saja hilang dalam beberapa waktu. Namun hal berbeda terjadi ketika orang yang membenci itu kehilangan kontrol dan kemudian melihat kemungkinan ketersediaan teknologi AI, lalu memproyeksikan kebenciannya dan membuat kebencian itu lebih luas dan menjadi lebih besar.

Ia lantas membuat konten atau mengedit video untuk memengaruhi dan mengajak orang lain juga membenci orang yang sama.

Ini merupakan contoh bagaimana konstruksi realitas yang membuat sifat dan tindakan manusia bisa berubah dan dikendalikan oleh AI secara perlahan.

Jika memang demikian, maka pertanyaannya di sini bukan lagi apakah manusia yang mengendalikan AI atau sebaliknya, tetapi berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan AI untuk mengendalikan manusia secara penuh?

Kitab Suci sebagai Kompas

Kehadiran Artificial Intelligence merupakan tantangan luar biasa bagi peradaban manusia. Kita manusia bisa meragukan diri apakah kita masih bisa menjadi aktor yang memegang kendali dalam peradaban ini karena kontrol itu perlahan sudah diambil oleh AI dan mengubah manusia. Jika memang hal itu yang terjadi, maka manusia sebenarnya perlahan kehilangan kompas pedoman di dalam hidupnya.

Di penghujung Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) ini, marilah kita kembali mengandalkan Kitab Suci sebagai pedoman, sumber bagi kita untuk mengkonstruksi sikap dan realitas yang ingin kita ciptakan di dalam kehidupan kita.

Hal itu penting karena sebagai orang Katolik yang hidup di tengah dunia, dengan berbagai dinamika dan tantangannya, penebalan iman menjadi penting.

Sumber kehidupan iman Katolik kita sebagaimana di dalam teologi Katolik yang terdiri dari Magisterium Gereja, Tradisi Gereja serta Kitab Suci merupakan wahyu Allah sebagai revalasi Sabda Allah yang menuntun orang Katolik dalam hal iman dan Moral dan mengajak orang Katolik ambil bagian dalam karya keselamatan Allah(Ensiklik Dei Verbum, 2011)

Tantangan dari waktu ke waktu akan terus meningkat. sebagaimana kata Jean Baudrillard, “We live in a world where there is more and more information and less and less meaning.” Kita hidup di dalam dunia di mana terlalu banyak informasi tetapi sangat sedikit makna, terutama dengan kehadiran AI yang semakin mempengaruhi hidup manusia.

Untuk itu, sebagai orang Katolik, kita diajak untuk semakin kencang berpegang pada Kitab Suci untuk menjadi kompas dan sumber makna kehidupan kita dalam mengkonstruksi realitas dan kehidupan kita menuju keselamatan karena sebagaimana tema BKSN tahun ini, Allah Sumber Kasih dan Keselamatan.  (*)

Pengajar STPM St Ursula, Ende

Leave A Reply

Your email address will not be published.