Literasi Digital, Gereja, dan Perdamaian Dunia

Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian. (St. Fransiskus Asisi)

0 77

Katolikana.com—Seorang anggota keluarga saya mengirimkan foto seorang Uskup yang sedang terbaring di rumah sakit dengan capture emoji tangisan. Ia meminta saya untuk mencek kebenaran berita itu.

Sontak kaget, saya lalu membuka Facebook. Saya juga menunggu berita di grup WhatsApp sejawat rekan kerja tentang berita yang sama.

Ternyata belum ada yang diunggah di laman Facebook pun di grup WhatsApp. Saya menyimpulkan berita ini tidak benar alias hoaks.

Dalam perbincangan dengan beberapa imam, ditegaskan bahwa berita itu adalah berita bohong yang disebarkan dan diinterpretasi berbeda oleh masing-masing orang.

Bahkan saya mendengar ada konsekuensi hukum akibat berita itu. Sungguh cerita yang agak panjang dan efek yang tidak kecil dari sebuah unggah foto sederhana.

Jenis dan Efek Hoaks

Mungkin kebanyakan orang melihat bahwa tindakan mengunggah merupakan hal sederhana. Padahal, hoaks yang diunggah, bisa masuk ke dalam jenis misinformasi yakni informasi yang disebarkan salah, tetapi orang yang membagikannya percaya bahwa informasi itu benar.

Atau, disinformasi yang merupakan Informasi yang disebarkan salah, dan orang yang menyebarkannya tahu itu salah dan itu dilakukan dengan sengaja.

Selain itu juga ada malinformasi, yakni penyalahgunaan informasi di mana ketika informasi asli dibagikan untuk menyebabkan kerusakan, seringkali dengan memindahkan informasi yang dirancang privat, dibawa ke ruang publik (Wardle and Hosein, 2017).

Gordon Pennycook dan David G. Rand dalam artikel jurnal berjudul The Psychology of Fake News, menulis ada beberapa hal yang memengaruhi mengapa orang menyebarkan berita bohong.

Pertama, pengaruh politik ini berkaitan dengan kekuasaan berita, di mana orang  percaya pada berita yang lebih banyak dipercaya orang lain.

Kedua, rendahnya discernment (proses refleksi sebelum membuat keputusan) sehingga tidak menyaring terlebih dahulu informasi yang masuk.

Ketiga, adanya keterputusan antara apa yang orang percaya dan apa yang mereka bagikan di media sosial akibat kurangnya perhatian pada detail berita yang bisa disebabkan oleh algoritma yang menaikan rating berita (Pennycook & Rand, 2021).

Di samping motivasi-motivasi itu, banyak orang mungkin tidak berpikir lebih jauh, bahwa yang apa diunggah itu bisa mendatangkan konsekuensi dan menciptakan rantai efek yang mungkin tidak terduga.

Hal itu terjadi karena konten atau statement yang diposting berada dalam situasi tertentu (situasi yang sedang hangat tentang isu tertentu) atau berkaitan dengan orang penting tertentu.

Mata rantai yang tercipta bisa berada di luar kendali sang pengunggah. Hal ini terjadi karena masing-masing orang punya pemahaman dan pemikiran tersendiri dalam menginterpretasikan, menambahkan dalam paradigma dan kepentingan terhadap sebuah konten.

Selain itu, masing-masing orang punya grup media sosial masing-msing di mana mereka berada dengan tujuan dan pandangan masing-masing dari setiap peserta grup.

Jika informasi itu baik dan diteruskan secara baik, maka akan menciptakan kebaikan bersama. Namun kalau informasi itu bersifat negatif maka informasi itu akan makin besar serta mendatangkan efek protektif dan destruktif yang melebar. Apalagi, itu berada di luar kendali oleh orang yang telah mengunggah paling awal.

Menyitir perumpamaan Yesus, di mana benih yang jatuh di tanah subur akan berbuah berkali-kali lipat, maka benih penipuan atau benih provokasi yang jatuh di tanah subur atau diterima oleh mereka yang sedang ‘haus provokasi’ tentang isu tertentu, maka pasti itu tumbuh dengan subur di dalam diri dan secara masif dan cepat tersebar oleh masing-masing orang.

Salah satu contoh kontekstual yang banyak dibahas adalah pertikaian Palestina dan Israel. Kasus ini menyita perhatian publik serta viral di berbagai media dan diterjemahkan atau disoroti dari perspektif masing-masing media dengan prinsip dan posisi masing-masing media untuk melihat hal itu.

Media di tanah air maupun media internasional punya versi masing-masing tentang cerita peperangan itu. Ada yang berdiri di sisi Palestina, ada juga yang berdiri pada sisi Israel.

Masing-masing menyatakan pihak tertentu sebagai penyerang dan pihak lain sebagai korban. Perbedaan posisi ini tidak menutup kemungkinan terjadinya pemolesan berita dengan maksud dan tujuan tertentu.

Hal yang tidak terduga adalah efek yang timbul. Pemberitaan itu menciptakan gelombang pengaruh kepada manusia di berbagai belahan dunia, sebagai warga negara atau aliran kepercayaan yang mendukung atau berada di pihak Israel atau Palestina.

Tak hanya berhenti di situ, gelombang pengaruh bahkan bisa memengaruhi cara pandang dan cara bersikap dalam hidup praktis setiap orang.

Hal ini bisa terlihat dalam sikap ekslusif dan fanatis kelompok tertentu yang melihat permasalahan dengan kacamata kuda—melihat masalah dari satu perspektif saja.

Setelah itu, mereka membawanya di dalam konteks hidup mereka setiap hari yang sebenarnya jauh sekali berbeda dengan konteks perang yang sedang terjadi antara Israel dan Palestina.

Sebut saja gerakan di media sosial seperti #BoikotIsrael atau #BoikotProductIsrael yang menolak produk dari Israel atau Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) Indonesia, yang bergerak di Instagram dengan 2.592 follower yang mendorong aksi boikot dan bahkan memberikan daftar perusahaan yang menjadi target boikot.

Tindakan ini belum tentu dapat menyelesaikan masalah, malahan orang bisa membawa masalah baru, seperti dampak negatif terhadap perekonomian dalam negeri. Bahkan, bisa menimbulkan pro-kontra baru dalam kehidupan berdasarkan perang yang jauh ribuan kilometer dari tempat ia tinggal.

Para imam merasakan kebutuhan untuk terhubung untuk memastikan bahwa Gereja mengikuti Era Digital.

Literasi Digital dan Perdamaian Dunia

Upaya menumbuhkan literasi digital menjadi sangat penting karena kemampuan ini dibutuhkan untuk hidup, belajar dan bekerja di dalam lingkungan sosial di mana komunikasi dan akses informasi berkembang dengan pesat melalui teknologi digital seperti platform internet, media sosial dan gawai (www.westernsydney.edu.au).

Literasi digital bisa membuat anggota gereja bukan hanya menguasai berbagai hal yang berkaitan dengan digitalisasi untuk hidup, belajar dan bekerja, tetapi lebih jeli untuk menelusuri kebenaran dari berbagai informasi yang tersebar di media digital maupun media sosial.

Hal ini bisa dibuat dengan menggalakkan pelatihan literasi digital di tingkat Paroki bagi Orang Muda Katolik atau warga Paroki. Untuk melaksanakan itu, umat pasti punya tenaga mumpuni untuk membantu. Jika hal ini tidak bisa dibuat, kerjasama antarparoki bisa menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan tenaga untuk pelatihan ini.

Paroki bisa bekerjasama dengan pihak di luar Gereja. Selain menunjukan sikap Gereja Katolik yang inklusif, inisiatif ini membuka pemahaman bahwa Gereja Katolik punya niat untuk berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi tetapi tetap memiliki kemampuan analitis dan kritis.

Kemampuan kritis dan analitis memungkinkan setiap anggota gereja untuk mencerna informasi secara baik sehingga bisa mengambil posisi dan sikap yang benar sebagai anggota gereja.

Sebagai anggota gereja, kita adalah pewarta kabar baik atau kabar gembira. Kita tidak memproduksi berita yang menghasut untuk memperbesar api yang sedang berkobar, tetapi mengambil sikap menjadi bentara pembawa perdamaian dunia bagi dunia.

“Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian,” ujar St. Fransiskus Asisi.

Sebagai orang Katolik, kita tidak akan lupa cerita mengenai bagaimana Hawa dan Adam jatuh ke dalam dosa karena bujukan sang ular (Kej 3: 1-24).

Ingat, ular menyebarkan hoaks yang berhasil memprovokasi mereka sehingga memakan buah terlarang. Hoaks, tipu muslihat ataupun provokasi bukanlah hal baru. Kita tentu selalu bisa belajar dari pengalaman lampau dan pengalaman kita setiap hari. (*)

Pengajar STPM St Ursula, Ende

Leave A Reply

Your email address will not be published.