Bumi Kalimantan Terluka

Kehadiran kelapa sawit skala besar berdampak negatif terhadap alam.

0 145
Br. Stefanus Agus Faisal, FIC

Oleh Br. Stefanus Agus Faisal, FIC, mahasiswa Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Katolikana.com — “Bumi rumah kita bersama, seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka.”

Fransiskus Asisi berseru, “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rerumputan.” (Laudato Si)

Penggalan pujian Fransiskus Asisi dalam Nyanyian Saudara Matahari menggugah kecintaan kita pada Ibu Bumi. Ibu Bumi yang telah merawat dan mengasuh putra-putrinya.

Ia menyediakan yang kita butuhkan untuk hidup. Sudah layak dan sepantasnya manusia mensyukuri dan menjaganya. Namun, realitanya manusia telah merusak alam.

Realita kerusakan alam di Kalimantan, menjadi salah satu bukti pujian Fransiskus Asisi belum bisa terwujud.

Manusia telah melukai bumi. Saya sendiri menyaksikannya. Pada tahun 2018, saat berkesempatan pergi ke Ketapang, Kalimantan Barat. Saat itu, saya menjalani salah satu program pendidikan calon Bruder FIC.

Gambaran Kalimantan sebagai paru-paru dunia melekat dalam benak saya. Namun, pandangan ini berubah, ketika saya melihat realitas yang ada.

Saya melihat berhektar-hektar kebun sawit di sepanjang jalan dari Ketapang sampai Tanjung. Bahkan, saat saya berkunjung ke kampung-kampung, ada bukit yang hanya ditumbuhi sawit.

Kehadiran kelapa sawit skala besar berdampak negatif terhadap alam. Limbah yang dihasilkan kelapa sawit telah terbukti mencemari lingkungan.

Menurut Andre (3/01/2024), air sungai di beberapa kampung telah tercemar. Warga tidak bisa menggunakan air itu untuk keperluan sehari-hari. Mereka juga tidak bisa mencari bahan makanan, berburu, dan mencari obat-obatan di hutan. Hal ini diperburuk dengan adanya banjir. Padahal, menurut Dono (3/01/2024), sebelum adanya perkebunan sawit kampungnya tidak pernah kebanjiran.

Keberadaan perkebunan sawit berdampak pada kebudayaan masyarakat Dayak. Berbagai tradisi terancam hilang, seperti, berburu, penghormatan terhadap roh nenek moyang, dan panen bersama. Hal ini juga mempengaruhi pola interaksi masyarakat.

Sengketa tanah menjadi persoalan rumit dan tidak kunjung selesai. Perusahaan secara sepihak mengambil tanah masyarakat adat, pembelian tanah dengan harga rendah, dan ganti rugi yang tidak sesuai janji.

Hal ini pernah diajukan ke pengadilan, namun pada akhirnya tidak ada penyelesaian. Bahkan beberapa aktivis dituduh menjadi provokasi sehingga dipenjara.

Gerakan AMAJK

Menanggapi permasalahan terkait sawit, pada 21 Oktober 2007 berdiri organisasi bernama Aliansi Masyarakat Jelai Kendawangan (AMAJK). Organisasi ini pertama kali didirikan oleh tokoh-tokoh Katolik, seperti, Br. Thomas Sumaryadi, FIC, Rm Budi Pr, Kusnaedi, Mulyadi, Basri, dll.

“Berdirinya AMAJK dilatarbelakangi oleh keprihatinan Gereja dan masyarakat dengan adanya dampak negatif perkebunan sawit. Masyarakat Jelai dan Kendawangan sampai saat ini konsisten untuk berjuang untuk mempertahankan tanah adat, beserta tradisi yang sudah ada turun-temurun,” kata Petrus Darmono (2/01/2024) ketua AMAJK.

Sejak awal, menurut Darmono, Gereja sangat berperan dalam perjuangan AMAJK.  Hanya saja saat ini, tidak ada pastor, bruder, suster yang terlibat secara langsung dalam organisasi.

Meski begitu, menurutnya Gereja terus memberi berbagai sosialisasi terkait dampak kelapa sawit kepada masyarakat. Darmono berharap dari pihak Gereja ada yang berjuang bersama kaum awam dalam AMAJK. Ia meyakini kehadiran mereka akan berdampak besar.

Gereja menurut Darmono memiliki pengaruh di tingkat pemerintah. Ia mengakui bahwa AMAJK tidak bisa sampai mengintervensi pemerintah. Namun Gereja punya kekuatan itu.

Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Gereja mengajak kerja sama pejabat pemerintah dalam usaha madu masyarakat Kendawangan. Gerakan semacam ini perlu terus dilakukan.

AMAJK berjuang bersama dengan beberapa lembaga, seperti, Pancur Kasih, Credit Union, sekolah-sekolah, media publikasi cetak, serta Ruai TV.

“Harapannya melalui kerja sama berbagai pihak dapat membantu dalam pengakuan terhadap hak masyarakat adat, dan mengusahakan keselamatan ekologis seperti seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si,” ujar Darmono.

Kesadaran Lingkungan melalui Laudato Si

Paus Fransiskus, melalui dekrit Laudato Si menyadarkan kita akan bumi yang saat ini sedang terluka. Kerusakan lingkungan di Kalimantan salah satunya. Manusia belum bisa menjalankan mandat yang Tuhan berikan.

Br Thomas FIC, salah satu pendiri AMAJK mengingatkan masalah utama kerusakan lingkungan adalah mental manusia.

Pada dasarnya orang tahu bahwa merusak hutan adalah kejahatan ekologis. Meski mereka tahu, tetap saja merusak. Hal ini menunjukkan bahwa manusia cenderung rapuh berhadapan dengan sifat rakus, egois, sombong, dan angkuh.

Manusia dan seluruh ciptaan telah diciptakan baik adanya. Semua itu, adalah bagian yang integral dan tidak bisa saling meniadakan.

Sudah saatnya manusia memandang ciptaan lain sebagai ibu, saudara-saudari, sebagaimana tercantum dalam artikel satu Laudato Si.

Hal ini tidak mudah, seperti halnya yang dialami oleh AMAJK dan berbagai gerakan menyelamatkan lingkungan.

Mereka harus berhadapan dengan penguasa, menerima tekanan, dan ancaman. Untuk itu, perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak.

Kerjasama Semua Pihak

Gereja perlu berdiskusi, duduk bersama pemerintah demi keselamatan bumi Kalimantan. Pemerintah dalam hal ini juga perlu menyadari kembali panggilannya untuk kepentingan rakyat.

Pemerintah ada untuk melayani rakyat, bukan mengelabui rakyat. Pemerintah perlu sadar bahwa rakyat menderita karena dampak kelapa sawit. Untuk itu, perlu adanya kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Perusahaan-perusahan sawit yang berkembang saat ini, tidak bisa semena-mena terhadap masyarakat. Mereka perlu menyadari penderitaan masyarakat akibat alih hutan menjadi kebun sawit.

Untuk itu, mereka perlu mengadakan rekonsiliasi terhadap alam dan masyarakat itu sendiri. Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kerusakan hutan.

Masyarakat perlu terus berjuang demi keselamatan alam dan kelangsungan hidup. Masyarakat Dayak hidup bersama alam. Alam seperti ibu yang senantiasa menjaga dan memberikan kebutuhan hidup bagi anak-anaknya.

Jika hutan rusak, bukan tidak mungkin identitas memudar, dan masyarakat menjadi terjajah di tanah sendiri. Oleh karena itu, dari masyarakat sendiri harus meningkatkan pendidikan dan literasi agar tidak mudah diperdaya.

Kesadaran akan bumi Kalimantan sebagai rumah perlu ditanamkan agar masyarakat tidak begitu saja menyerahkan tanahnya untuk ditanami sawit.

Kesadaran ini penting agar mereka tidak menyesal. Hal ini bukan tidak mungkin asalkan semua pihak bekerja sama demi generasi yang mendatang.

Para pendiri AMAJK dan berbagai lembaga berani berjuang, meski harus mengalami intimidasi. Mereka patut dijadikan teladan.

Kerusakan lingkungan akibat kelapa sawit merupakan permasalahan bersama. Untuk itu, seperti telah disampaikan oleh Darmono, Gereja perlu bekerja sama dengan berbagai pihak dalam penanganan kerusakan lingkungan ini.

Para kaum berjubah perlu turun tangan, berkeringat bersama dengan awam dalam menyelamatkan lingkungan dan masyarakat adat.

Seperti tema Natal 2023 yang disepakati oleh PGI dan KWI, “Kemuliaan Allah dan Damai di Bumi”, kita diajak untuk mewujudkan damai di Bumi yang saat ini sedang terluka.  (*)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.