Romo Karl Edmund Prier, SJ Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari ISI Yogyakarta

Keahliannya menggubah musik liturgi dengan ‘rasa’ dan irama nusantara.

0 502

Katolikana.com—Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memberikan gelar doktor honoris causa (Dr. HC) kepada Romo Karl Edmund Prier, SJ dan Prof. Gunnar Spellmeyer.

Penganugerahan gelar doktor kehormatan tersebut diselenggarakan dalam sidang senat terbuka di Gedung Concert Hall ISI Yogyakarta, Kamis (11/5/2023).

Sekretaris Senat ISI Yogyakarta Prof. Dr. I Wayan Dana, S.ST., M.Hum didapuk tampil untuk membacakan Surat Keputusan Rektor ISI Yogyakarta tentang Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa Karl Edmund Prier, SJ di hadapan segenap hadirin sidang.

“Memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa Karl Edmund Prier, SJ atas jasa yang luar biasa dalam bidang keilmuan musik, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat pada gelar tersebut,” demikian disampaikan oleh Prof. Dana.

Romo Karl Edmund Prier, SJ. Foto: Tangkapan Layar

Penggubah Madah Bakti

Romo Prier merupakan romo yang dikenal sebagai musisi gereja karena kiprah panjangnya di Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta.

Romo yang lahir di Wienhiem, Jerman, pada 18 September 1937 ini datang ke Indonesia pada 1964. Kemudian, ia mendirikan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta pada 1971.

Sejak saat itulah, ia banyak berperan mengembangkan inkulturasi musik liturgi yang hingga kini kerap dipakai dalam misa ekaristi. Keahliannya untuk menggubah musik liturgi dengan ‘rasa’ dan irama nusantara membuat Romo Prier dan PML Yogyakarta dipercaya oleh KWI untuk menggubah lagu-lagu gereja dalam Bahasa Indonesia.

Kumpulan lagu-lagu gereja tersebut kini lebih dikenal dengan nama Madah Bakti.

Sejak 2018 khalayak lebih mengenal nama romo Yesuit ini sebagai korban serangan pria berpedang di Gereja St. Lidwina Bedog.

Hal ini pun turut diungkapkan oleh Romo Prier dengan nada canda saat menyampaikan pidato ilmiahnya.

Romo Prier sempat meminta maaf karena ia hadir dengan mengenakan flat cap berwarna hitam dalam sidang senat tersebut.

“Saya meminta maaf bahwa (memakai) topi karena ada luka di kepala, sejak saya ‘dicintai’ oleh seseorang di Gereja (St. Lidwina) Bedog beberapa tahun lalu, dan sampai sekarang masih ada lubang di sini,” gurau Romo Prier mengawali pidato ilmiahnya sembari memegang bagian ubun-ubun kepalanya.

Hidup untuk Musik

Mengenai judul pidato ilmiahnya, “Hidup untuk Musik”, Romo Prier menyebutkan bisa ada dua arti dari kalimat tersebut.

Arti pertama menggambarkan dirinya sendiri yang sepanjang usianya telah mencurahkan hidupnya untuk musik.

Akan tetapi, arti yang kedua, ia juga mendorong semua orang di daerah-daerah agar hidup untuk musik.

Romo Prier mengutip sepenggal teks Konsili Vatikan II yang menjadi dasar karyanya selama ini.

Teks tersebut berbunyi: “Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam beragama dan bermasyarakat.”

“Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat perangai mereka.”

Berangkat dari semangat tersebut, saat Romo Prier mendapatkan penugasan dari KWI untuk menyusun lagu-lagu gereja dengan ‘citarasa’ Indonesia, ia tidak mau memandang Indonesia hanya dari Yogyakarta sebagai sentrum.

Ia merasa perlu untuk melihat Indonesia secara lebih luas. Maka, Romo Prier kemudian memutuskan untuk pergi ke pelosok Kalimantan, Papua, hingga Mentawai, untuk menyerap lokalitas musik dari daerah-daerah tersebut.

Lantas Romo Prier meramunya menjadi sejumlah lagu-lagu gereja yang kental dengan nuansa inkulturasi.

Romo Prier mengartikan ‘inkulturasi’ ini sebagai adanya proses timbal balik antara budaya gereja dan budaya asli. Sehingga ada sebagian budaya gereja yang berubah menjadi kreasi baru.

Demikian pula sebaliknya, dari budaya asli ada pula yang berubah lantas menjadi kreasi baru.

Prof. Triyono Bramantyo, Ph.D. selaku promotor. Foto: Tangkapan Layar

Warna Lokal

Prof. Triyono Bramantyo, Ph.D. selaku promotor, turut menyampaikan pujiannya atas penganugerahan gelar doktor kehormatan dari ISI Yogyakarta kepada Romo Prier.

Menurut Prof. Triyono, Romo Prier berperan besar bagi pengembangan musik, baik bagi musik gereja maupun aransemen lagi-lagu daerah.

Terlebih, Romo Prier juga memiliki peran vital sebagai pendiri dan pengajar di Jurusan Musik, Akademi Musik Indonesia, yang kini menjadi bagian dari ISI Yogyakarta, sejak 1971 hingga 2004.

“Jika kita mendengar alunan-alunan nyanyian gerejawi yang dinyanyikan dengan iringan gamelan dan dengan organ/piano, maka kita mendengar karya inkulturasi musik yang memberi warna lokal atas nyanyian gregorian barat,” tutur Prof. Triyono.

“Jika kita mendengar aransemen lagu-lagu daerah untuk Indonesia, untuk paduan suara dalam format aransemen yang apik dan estetik, maka sebagian besar karya-karya itu juga dilahirkan oleh Romo Prier yang tekun dan tangguh dalam etos dan spirit hidupnya, yakni hidup untuk musik,” lanjutnya. (*)

Pidato penganugerahan gelar Doktor Kehormatan Romo K.E. Prier SJ bisa diunduh di sini.

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.